Assalamu’allaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Dewasa ini perkembangan
ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini
ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan
para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti
kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab
hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi
di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia
penerbitan.
Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu
hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan
ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan Mereka
yang Meremehkan Amalan Dari Hadits Dlo,ifdalam konteks fadhail
al-a’mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid
yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca
buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia. dengan kata lain mereka Bergaya Ilmiyah Menfitnah Ilmuwan.
Di
kutip dan di ringkas dari Kitab al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid
al-Syari’at al-Islamiyyah.
Ada
sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di
Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang
tokoh Salafi Wahabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda
memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari
al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara
pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang
paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya
uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda
belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan
zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu
menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya.
Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami
sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah
agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih
perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi
beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya
bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti
dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda,
semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam Madzhab dalam Islam ? Bahkan
kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam
madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat
para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim
dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu
terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang
mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang
ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’
itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban
muqallid?”
al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para
mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa
kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke
mujtahid lain?” al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang
mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada
dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca
al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti
qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang
berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti
qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca
al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam
secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat
mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan
selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari
fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang
lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari
fiqihnya Imam al-Syafi’i.
Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan
bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini
persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah
seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu
bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang
Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan,
menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku
tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.” Menjawab
pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi
dengan Muhaddits Abad Milenium
al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar
Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.
Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi
melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih.
Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik
mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri.
Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf,
lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan
ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.
Wallohu ‘Alam ….Smoga bermanfaat…