Website Baru Kami, Klik Gambar

Website Baru Kami, Klik Gambar
Kajian Ilmu Agama Islam

Thaharah (Bersuci)

Hukum Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Qu’an dan As-Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Al-Maidah: 6)
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 4)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dn menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ اَلطَّهُوْرُ
“Kunci shalat adalah bersuci.” (HR. Tirmidzi)
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ
“Shalat tanpa wudhu tidak diterima.” (HR. Muslim)
اَلطَّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ
“Bersuci adalah sebagian dari Iman.” (HR. Muslim)
Penjelasan tentang Thaharah
Thaharah itu terbagi ke dalam dua bagian: Lahir dan Batin.
Thaharah batin ialah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat dengan bertaubat secara benar dari semua dosa dan maksiat, dan membersihkan hati dari semua kotoran syirik, ragu-ragu, dengki, iri, menipu, sombong, ujub, riya’ dan sum’ah dengan ikhlas, keyakinan, cinta kebaikan, lemah-lembut, benar dalam segala hal, tawadhu’, dan menginginkan keridhaan Allah Ta’ala dengan semua niat dan amal shalih.
Sedangkan thaharah lahir ialah thaharah dari najis dan thaharah dari hadats (kotoran yang bisa dihilangkan dengan wudhu, mandi, atau tayammum).
Thaharah dari najis ialah dengan menghilangkan najis dengan air yang suci dari pakaian orang yang hendak shalat, atau dari badannya, atau dari tempat shalatnya.
Thaharah dari hadats ialah dengan wudlu, mandi dan tayammum.
Alat Thaharah
Thaharah itu bisa dengan dua hal :
  1. Air Mutlak, yaitu air asli yang tidak tercampuri oleh sesuatu apapun dari najis, seperti air sumur, air mata air, air lembah, air sungai, air salju dan air laut, berdasarkan firman Allah:
  2. وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat suci.” (Al-Furqon: 48)
Rasulullah bersabda,
اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ
“Air itu suci kecuali jika telah berubah aromanya, atau rasanya, atau warnanya karena kotoran yang masuk padanya.”
  1. Tanah (Debu) yang suci di atas bumi, atau pasir atau batu atau tanah berair karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
جُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Bumi dijadikan masjid, dan suci bagiku.”
Tanah bisa dijadikan sebagai alat thaharah jika air tidak ada, atau tidak bisa menggunakan air karena sakit dan lain sebagainya, karena dalil-dalil berikut:
Allah berfirman :
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang suci.” (An-Nisa: 43)
Rasulullah bersabda,
إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ اَلْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ
“Sesungguhnya tanah yang baik adalah alat bersuci seorang muslim kendati ia telah mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia mendapatkan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya.”
Rasulullah mengiinkan Amru Ibnul ‘Ash bertayamum dari junub pada malam yang sangat dingin, karena Amr Ibnul ‘Ash mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika ia mandi dengan air yang dingin.
Penjelasan tentang Hal-hal yang Najis
Hal-hal yang najis ialah apa saja yang keluar dari dua lubang manusia berupa tinja, atau urine, atau air madzi (lendir yang keluar dari kemaluan karena syahwat), atau Wadhi (cairan putih yang keluar selepas air kencing) atau air mani (menurut banyak riwayat menjelaskan bahwa air mani itu suci tidak najis). Begitu juga air kencing, dan kotoran semua hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan. Begitu juga darah, atau nanah, atau air muntah yang telah berubah. Begitu juga semua bangkai, dan organ tubuhnya kecuali kulitnya. Jika kulitnya disamak maka suci, karena Rasulullah bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit apa saja yang telah disamak, maka menjadi suci.”


Tafsir Surah Ali Imran Ayat 18 (Keutamaan Kalimat Tauhid)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali Imran: 18)
Dan sesungguhnya Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
“Akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada Ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar jemawut. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar atom. Dan akan dikeluarkan dari neraka siapa yang mengatakan tidak ada ilah kecuali Allah dan dalam hatinya ada kebaikan sebesar atom.” (HR. Bukhari)
Di dalam hadist ini Rasulullah menerangkan kepada kita, bahwa sebaik-baiknya perkataan adalah Kalimat Tauhid : {لا إله إلّا الله} ‘Tiada tuhan melainkan Allah’. Yaitu bagi siapa orang yang mengucapkan dan menyakini di dalam hatinya kalimat tersebut, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Meskipun ketika ia hidup di dunia ini, amal kebaikannya amat teramat sedikit dan lebih banyak melakukan amal perbuatan dosa. Karena sebagaimana Allah telah menerangkan di dalam Al-Qur’an,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)
Dan Ayat ini diperjelas lagi oleh Rasulullah sholallahu ‘alaih wa sallam yang mana beliau bersabda,
أَتَنِيْ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَأَخْبَرَنِيْ : أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِيْ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، قَالَ : فَقُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَ إِنْ سَرَقَ ، قَالَ : وَ إِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ .
“Telah dating kepadaku utusan Robbku, lalu ia memberitahukan kepadaku bahwasanya barangsiapa di antara umatku mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun niscaya pasti ia masuk surga. (Sahabat bertanya) : ‘Bagaimana kalau ia pernah berzina dan pernah mencuri?’ Maka Rasul menjawab : ‘Meskipun dia pernah berzina dan pernah mencuri.’” (HR. Muslim)
Makna yang dimaksud adalah apabila salah seorang dari umat Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam (Yaitu kita) tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, dan beriman kepada Rasulullah sholallahu ‘alaih wa sallam serta mengamalkan apa-apa yang sesuai dengan imannya itu, niscaya kelak di akhirat ia pasti akan masuk di dalam surga, betapapun besarnya dosa yang ia lakukan, berkat rahmat dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena seungguhnya Rahmat dan kasih sayang Allah itu tidaklah terbatas.
Oleh sebab itu, marilah kita perbanyak mengucapkan kalimat tauhid di waktu senggang maupun sempit, karena sebagaimana Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Seutama-utamanya (bacaan) dzikir adalah (ucapan) ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ (Tiada tuhan melainkan Allah).” (HR. Tirmidzi)
Dan semoga kita dijadikan orang yang dijanjikan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (في رواية) وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir ucapannya (kalimat) ‘Laa Ilaaha Illa Allah’ (tiada tuhan melainkan Allah), ia pasti masuk surga -dalam riwayat yang lain- ia wajib (harus) masuk surga .” (HR. Abu Daud & Ahmad)

Puasa Syawal tapi Belum Qadha Ramadhan

Jika mendengar judul di atas, maka persoalan ini sering sekali dipertanyakan oleh kaum muslimat yang biasanya mendapatkan uzur di bulan Ramadhan sehingga tidak bisa puasa sebulan penuh dan kemudian tatkala telah memasuki bulan syawal, mereka ingin puasa sunnah 6 hari di bulan syawal akan tetapi mereka belum mengqodho puasa ramadhan, bagaimana hukumnya ?
Terkait dengan Qadha puasa wajib Ramadhan puasa sunnah ada dua :
  1. Puasa sunnah yang masih memiliki hubungan dengan puasa Ramadhan, contoh puasa jenis ini adalah puasa syawal. Berdasarkan hadits,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun.” (HR. Ahmad 23533, Muslim 1164, Turmudzi 759, dan yang lainnya)
  1. Puasa sunnah yang tidak memiliki hubungan dengan puasa Ramadhan, contohnya Puasa Arafah, puasa Asyura’ dan lain-lain.
Dari dua jenis puasa di atas, puasa sunnah yang memiliki hubungan dengan puasa Ramadhan hanya boleh dilaksanakan jika puasa Ramadhan telah dikerjakan dengan sempurna, karena pada hadits diatas secara tegas menyebut “...melaksanakan puasa Ramadhan kemudian...”, oleh karena itu orang yang belum mengQadha puasa Ramadhan, berarti puasanya belum sempurna di bulan Ramadhan. Sehingga, jika orang itu ingin mengerjakan puasa Syawal dia harus lebih dulu mengQadha puasanya.
Adapun untuk puasa sunnah yang tidak memiliki hubungan dengan puasa Ramadhan, boleh dikerjakan terlebih dahulu, selama masa pelaksanaan qadha puasa Ramadhan masih panjang dan memungkinkan untuk dikerjakan.

Kemudian ada yang mengatakan bahwasanya niat Qadha puasa Ramadhan dan puasa syawal bisa digabungkan. Pendapat ini adalah pendapat yang salah jika ditinjau dari segi makna hadits diatas. Yaitu dimana Rasulullah menerangkan bahwasanya puasa Syawal baru boleh dilaksanakan setelah mengerjakan puasa Ramadhan.

Puasa Ramadhan sudah, Puasa Syawal sudah juga belum ?

Kaum muslimin dan muslimat yang ingin mengkaji Islam, bulan Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita dan bulan syawal pun telah datang. Jika pada bulan Ramadhan kita diwajibkan untuk berpuasa, sebagai pelebur dan pembakar dosa-dosa kita selama satu bulan lamanya. Maka, pada bulan Syawal ini kita disunnahkan untuk berpuasa selama 6 hari lamanya yang mana nanti pahalanya seperti kita puasa satu tahun penuh, hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya :
Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 (enam) hari bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti puasa satu tahun penuh. (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jadi, orang yang ingin mendapatkan pahala seperti puasa tahun lamanya bagi mereka yang puasa sebulan penuh di bulan ramadhan kemudian diikuti 6 hari di bulan syawal. Bagaimana perhitungannya, Rasulullah telah menjelaskan dalam hadits yang lain,
جعل الله الحسنة بعشر أمثالها فشهر بعشرة أشهر وصيام ستة أيام تمام السنة
Artinya :
Allah menjadikan kebaikan dengan 10 kali lipat. Maka satu bulan sama dengan 10 bulan. Dan puasa enam hari sama dengan setahun penuh. (HR. Nasa'i)
صيام شهر رمضان بعشرة أمثالها وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام السنة
Artinya :
Puasa sebulan Ramadan pahalanya 10x lipat. Puasa enam hari bulan Syawal sama dengan dua bulan. Maka jumlahnya sama dengan setahun penuh. (HR. Ibnu Khuzaimah)
Dari kedua hadits tersebut jika kita buat rumus matematika maka :
Satu Bulan = 30 Hari, satu tahun = 12 bulan, berarti satu tahun = 360 hari
Puasa Ramadhan satu hari pahalanya dikali 10x lipat, sedangkan puasa syawal 6 hari seperti 2 bulan.
Jadi, Rumusnya : 30 hari di bulan Ramadhan X 10 = 300 Hari ditambah 6 Hari syawal = 2 bulan = 60 hari, totalnya adalah 360 hari.


Surga Pria ada pada Ibunya, sedangkan Surga Wanita ada pada Suaminya

Saudara dan saudariku, Allah itu maha adil dan bijaksana tiada pun yang terjadi di dunia ini melainka akan terjadi dengan keadilan dan kebijaksanaan Allah.
Kita hidup di dunia ini hanya sementara, dan akhirat-lah yang nantinya akan menjadi tempat kembali kita untuk selama-lamanya. Tapi, yang menjadi pertanyaan apakah di akhirat kelak masuk surga dan merasakan kenikmatan yang tiada bandingannya? Atau kita masuk neraka dan merasakan siksaan yang amat sangat pedihnya ? Kita meyakini, bahwa memang setiap orang yang beriman meskipun berdosa pasti akan masuk surga, meskipun mampir dulu ke neraka.
Terus yang menjadi pertanyaan, bagaimana seorang yang beriman masuk surga tanpa mampir dulu ke neraka. Jawabannya ada dua :
Pertama,untuk kaum adam (pria) yang ingin masuk surga adalah dengan berbakti kepada kedua orangtuanya terutama kepada ibunya, hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Muawiyah bin Jahimah As-Salami bahwasanya ia pernah datang menemui Nabi lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin pergi berjihad, dan aku datang kepadamu untuk meminta pendapat.” Beliau berkata, “Apa kau masih mempunyai Ibu?” Ia menjawab, “Ya, Masih.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,
فألزمها فإن الجنة تحت رجليها
“Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu dibawah kedua kakinya.” (Riwayat an-Nasa’i)
Di dalam hadits ini kita lihat, ketika ada seorang sahabat Rasulullah izin untuk pergi berjihad, tapi rasulullah malah menanyakan apa ia masih memiliki ibu atau tidak. Jika masih, maka ia lebih baik izin terlebih dahulu kepada ibunya untuk pergi berjihad. Kita ketahui, bahwasanya jihad itu wajib hukumnya, jika mati ketika jihad maka syahid dan surga menantinya. Akan tetapi disini, rasulullah menjelaskan bahwasanya berbakti kepada ibunya lebih mulia daripada berjihad di medan perang.
Kedua, untuk kaum hawa (wanita) yang ingin masuk surga adalah dengan taat dan patuh kepada suaminya, hal ini sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,
أيما امرأة ماتت وزوجها راض دخلت الجنة
“Wanita mana saja yang meninggal dunia dan suaminya dalam keadaan ridho padanya, maka ia pasti masuk surga.” (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadits ini Rasulullah menjelaskan bahwasanya keridhoan suami itu dapat menyebabkan seorang istri masuk surga, bagaimana menjadi istri yang mendapatkan ridho suami, yaitu istri yang senantiasa patuh dan taat terhadap suaminya dalam hal yang diperbolehkan dalam syariat. Jadi andaikata ada seorang suami yang melarang istrinya untuk bertemu dengan orangtua istrinya karena suami memiliki hajat terhadapnya, maka ia tidak boleh bertemu orangtuanya.. (pembahasan ini akan kami ulas lebih jauh dalam artikel selanjutnya) insya Allah.

Ajaran Disesatin, tapi Shalat Ngikutin ???

Pada artikel sebelum ini, yaitu tentang qunut kami telah menerangkan secara ringkas mengenai pandangan para ulama mengenai qunut shubuh. Sedangkan pada tulisan kali ini, penulis ingin menyampaikan sebuah unek-unek penulis, dari hasil penelitian harian dari kebiasaan orang-orang di lingkungan sekitar penulis.
Banyak sekali umat islam di zaman sekarang ini, baru baca artikel dari google sesaat sudah berani sebut orang lain sesat, baru belajar ngaji udah berani mengkaji. Kita kembali ke pembahasan kita, ini pembahasan masih nyambung sama qunut shubuh yang udah kita bahas sebelumnya.
Anda mau ngikutin pendapat bahwa qunut shubuh itu ada, silahkan. Anda mau ngikutin pendapat yang tidak ada, juga silahkan. Tapi, kalau andaikata anda mengikuti pendapat yang tidak qunut, sebaiknya jangan sekali-kali anda shalat di tempat yang tidak qunut, mengapa? Karena shalat berjamaah anda tidak sah, kalaupun sah anda pasti mendapatkan dosa, tapi ini berlaku buat orang-orang yang mengikuti pendapat tidak qunut, kemudian dia shalat berjamaah di belakang imam yang berqunut dan dia sebagai makmum tidak mau qunut. (kalau belum mengerti baca berulang-ulang).
Kenapa kami berani bilang shalatnya gak bakal sah atau dapat dosa ?
Karena, ketika imam berqunur dan makmumnya tidak berqunut. Maka, dapat diketahui bahwa makmum ini adalah orang awam yang bodoh dan tidak memiliki ilmu tapi dia gak nyadar (baca: Toleransi para Ulama dalam Qunut Shubuh). Dan sebagimana dijelaskan di dalam matan zubad,
العمل بلا علم مردودة لا تقبل
Amal perbuatan tanpa didasari ilmu tertolak tidak diterima (oleh Allah).
Terus ada yang merasa pintar, pasti dia ngomong begini. Qunut dalam shalat shubuh itu tidak ada contohnya dari Rasulullah, karena tidak ada hadits shahihnya. Sedangkan setiap yang tidak dicontohkan adalah Bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, maka tidak usah mengikuti qunut shubuh. Orang jawabannya demikian biasa orang pinter karena rajin baca, tapi masih lebih banyak bodohnya. Kalau udah tau sesat imam yang qunut shubuh, ngapain jadi makmumnya, karena orang sesat itu pasti shalatnya tidak akan diterima toh. Lagipula kalau qunut itu bid’ah dan bid’ah sesat, maka sesat itu kan perbuatan syetan, nah sedangkan syetan itu kan tidak boleh diikuti apalagi menjadi makmumnya, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.   

Perbedaan Pendapat dalam Qunut Shubuh

Qunut dalam shalat shubuh ? Apa hukumnya ? Bagaimana pandangan ulama terhadap qunut shubuh ?
Sebagai mana telah dijelaskan di dalam kita Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Kitab Ensiklopedia Islam yang tebalnya 45 jilid) dijelaskan pandangan ulama madzhab tentang qunut shubuh, sebagai berikut :
  1. Ulama Hanafiyyah (Imam Abu Hanifah)
Mereka berpendapat bahwasanya disyariatkan qunut hanya pada shalat witir di bulan Ramadhan dan tidak disyariatkan qunut pada shalat-shalat lainnya (wajib ataupun sunnah) kecuali pada saat muslimin tertimpa musibah yang dinamakan dengan qunut nazilah. Namun menurut mereka juga, qunut nazilah ini hanya boleh pada shalat berjamaah shubuh, yaitu imam membaca doa sedangkan makmum mengaminkan. Sedangkan jika shalat sendirian (munfarid) tidak ada qunut di dalamnya.
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
 كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
"Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I'tidal) berkata : "Sami'allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. "Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabi'ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri'lu, Dzakw an dan 'Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim". (HSR.Bukhary-Muslim)
Dari hadits ini ulama-ulama kalangan hanafiyah berpendapat bahwasanya qunut itu dihilangkan atau dihapus hukumnya tatkala telah turun ayat tersebut.
  1. Ulama Malikiyah (Imam Anas bin Malik)
Mereka berpendapat qunut hanya ada pada shalat shubuh, dan letak qunut menurut mereka adalah sebelum ruku’ sehabis membaca surah-surah pendek. Tidak ada qunut dalam shalat witir di dalam ataupun di luar ramadhan dan tidak ada qunut pula di dalam shalat-shalat lainnya.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari jalan Khalid bin Da'laj dari Qotadah dari Anas bin Malik :
 صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang 'umar lalu beliau qunut dan di belakang 'Utsman lalu beliau qunut.” (Hadits riwayat Al Baihaqy dan Ibnu Syahin)
  1. Ulama Syafi’iyah (Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i)
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali separuh akhir dari bulan ramadhan. Dan tiada pula qunut dalam shalat wajib yang lima melainkan pada shalat shubuh dan letaknya sehabis ruku’ (berbeda dengan ulama malikiyah), dan masih menurut mereka pula disyariatkan qunut nazilah (qunut saat kaum muslimin tertimpa musibah) dalam shalat lima waktu apapun (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan isya) secara keseluruhan atau hanya sebagian.
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
 مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu 'alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Al-Hakim, Imam Al-Baihaqi, Imam Al-Khatib Al-Baghdady dan lain-lain. Hadits ini shahih menurut mereka sehingga mereka mengamalkan qunut shubuh. Mengenai pembahasan mengenai kualitas hadits silahkan belajar ilmu hadits, dan menghafal ribuan hadits. Baru setelah itu anda baru boleh komentar hadits ini dhaif, bathil atau sebagainya.
  1. Ulama Hanabilah (Imam Ahmad bin Hambal)
Mereka berpendapat bahwasanya disyariatkan qunut dalam witir di separuh akhir ramadhan. Dan tidak disyariatkan qunut pada shalat-shalat lainnya, melainkan tatkala ada musibah yang besar menimpa kaum muslimin selain musibah wabah penyakit. Pada kondisi ini imam berqunut di setiap shalat lima waktu yang wajib kecuali shalat Jum’at.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Sa'ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja'i
 قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
"Saya bertanya kepada ayahku : "Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu 'anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?". Maka dia menjawab : "Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid'ah)".
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, Imam An-Nasai, Imam At-Tirmidzi dan mereka menilai hadits ini shahih.


Dari keempat pendapat itu, jika ditanyakan manakah pendapat yang benar dan layak diikuti ? Maka kami akan menjawab, semua pendapat itu benar dan wajib kita ikuti sebagai orang awam. Yang tidak benar dan salah itu adalah orang yang tidur di waktu shubuh, tidak shalat shubuh, apalagi berjamaah ke masjid untuk shalat shubuh. Mengapa semua benar ? Karena permasalahan qunut ini masuk dalam ranah furu’ (cabang) syariat yang merupakan ladang para ulama untuk berijtihad. Sedangkan untuk kita yang masih awam untuk berijtihad, maka kita sepatutnya mengikuti hasil ijtihad para ulama tersebut.

Antara Iman dan Islam

Sering sekali kita mendengar kata Iman dan Islam, apakah itu dua hal yang sama ? ataukah dua hal yang berlainan ? kami akan coba memakarkan secara singkat dan lain dari yang lain. Insya Allah..
Iman berasal dari bahasa arab yang artinya percaya, Iman berbeda dengan yakin. Karena keyakinan itu baru hadir ketika kita memiliki kepercayaan akan suatu hal yang kemudian kita buktikan sendiri. Contoh mudahnya begini, ada seorang wanita yang dicintai oleh seorang pria playboy, si wanita ini pasti percaya bahwa pria ini mencintainya akan tetapi disisi lain ia belum yakin apakah pria itu masih playboy atau tidak. Sedangkan Iman menurut makna syariat adalah pernyataan dengan perkataan, pembenaran dengan hati dan pembuktian dengan amal perbuatan, hal ini sebagaimana telah kami sebut dalam artikel yang berjudul shalat.
Sedangkan Islam berasal dari bahasa arab yang artinya berserah diri atau pasrah atau selamat. Oleh karena itu orang yang beragama Islam adalah orang yang berserah diri kepada Tuhannya, pasrah dengan kehendak dan ketentuan-Nya, yang  nantinya Insya Allah ia akan selamat dari siksaan-Nya.
Dari dua pengertian diatas kita dapat menemukan suatu pemahaman bahwasanya Iman dan Islam tidak dapat dipisahkan. Karena, iman tanpa islam adalah sebuah kekafiran, sedangkan islam tanpa iman adalah sebuah kemunafikan. Jadi, kalau ada seorang manusia ia mengaku Iman kepada Allah akan tetapi ia menolak untuk menyembahnya (seperti syahadat, shalat dll) maka bisa dipastikan ia adalah seorang yang Kafir. Sedangkan, kalau ada seorang manusia ia rajin menyembah Allah (shalat, puasa dll) akan tetapi di dalam hatinya ia menyakini bahwasanya Allah tidak memiliki kuasa, atau dihatinya ia meragukan kekuasaan Allah, maka bisa dipastikan ia adalah seorang yang munafik.
Mengenai apa itu Iman dan Islam, serta rukun-rukunnya, cukuplah kita baca dan pahami sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab yang berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.
(Riwayat Imam Muslim)
Dalam hadits tersebut Rasulullah membagi Islam itu menjadi Lima :
  1. Syahadat
  2. Shalat
  3. Zakat
  4. Puasa di bulan Ramadhan
  5. Haji bila mampu
Sedangkan membagi Iman itu menjadi Enam :
  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada Malaikat
  3. Iman kepada Nabi dan Rasul
  4. Iman kepada Kitab
  5. Iman kepada Hari Kiamat
  6. Iman kepada Qadha dan Qadar
Dan di dalam hadits ini Rasulullah menjelaskan juga tentang Ihsan, yaitu puncak tertinggi dari Islam dan Iman seseorang. Mengenai pembahasannya akan kami buat pada artikel tersendiri. Insya Allah.

Wallahu ‘alam

Islam Berjaya karena Mengikuti Ajaran Agamanya, sedangkan Kafir Berjaya karena Meninggalkan Ajaran Agamanya

Kenalkah anda dengan Ibnu Rusyd sang ahli filsafat dari negeri Andalusia ?
Kenalkah anda dengan Ibnu Sina sang ahli ilmu kedokteran dari Persia ?
Kenalkah anda dengan Ibnu Batutah sang ahli sejarah dunia dari Maroko ?
Kenalkah anda dengan Al-Khawarizmi sang ahli matematika dari Persia ?
Kenalkah anda dengan Al-Battani sang ahli astronomi dari Arab ?
Mereka semua adalah para ilmuan yang beragama Islam, yang taat kepada Agamanya, dikenal sebagai orang yang shaleh, hafal Al-Qur’an dan menggali ilmu darinya. Dan itulah mengapa sebabnya ilmu mereka bermanfaat hingga kini.
Berbeda dengan ilmuan-ilmuan kafir seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Alexander Graham Bell, Plato, Aristoteles hingga Bill Gate sang empunya dan pemilik microsoft, mereka adalah orang-orang kafir (kristen dan yahudi) yang dikenal tidak taat pada ajaran agama, bahkan sebagian diantara mereka terkenal sebagai tokoh yang mengemukakan pendapat bahwasanya agama itu tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dunia.
Mengapa demikian ? karena ilmuan Islam tatkala menggali ajaran agamanya membaca Al-Qur’an maka ia akan mendapatkan pengetahuan baru yang tidak pernah diketahui manusia sebelumnya (pembahasannya pada artikel bertajuk keajaiban al-qur’an). Sedangkan ilmuan Kafir tatkala ia ingin menggali ajaran agamanya, justru ia akan terpuruk dalam lembah keterpurukan. Dimana hal ini pernah dialami oleh Bangsa Eropa pada Era Kegelapan tatkala ia lebih memilih mengikuti Ajaran Agamanya yang diseru gereja dan menjauhi para ilmuan.
Semua ini karena Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an itu adalah wahyu dari Allah sang pencipta kehidupan ini. Sedangkan ajaran Kafir yang bersumber dari Kitab-kitab mereka adalah buatan manusia yang tak memiliki pengetahuan akan kehidupan dunia ini.
Wallahu’alam.

Tafsir Surah Al-'Ankabut Ayat 45 (Shalat Terus, Maksiat Mulus)

Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).
Sebuah ayat yang kami kutip di atas adalah ayat yang bisa dikatakan hampir semua orang Islam pasti mengetahui ayat tersebut. Akan tetapi sebagian besar umat Islam juga bertanya-tanya apa sebenarnya yang dikandung di dalam ayat tersebut. Karena masyarakat sekarang banyak melihat fenomena bahwasanya banyak orang yang shalat akan tetapi maksiat. Sebenarnya fenomena ini sebenarnya bukanlah fenomena yang baru, akan tetapi sejak zaman Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِّي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّيْ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحَ سَرِقَ؟ فَقَالَ: “إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا يَقُوْلُ
“Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia katakan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwasanya orang rajin shalat tapi maksiat (mencuri) jalan terus sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Banyak para ulama telah menerangkan mengapa banyak orang yang seperti ini, yaitu karena orang tersebut belum mendirikan shalat dengan baik, rukun dan syarat serta kekhusyu’annya belum baik dan lain sebagainya menurut penjelasan para ulama.
Sebenarnya penjelasannya tidak perlu serumit dan sepanjang itu, cukup baca menurut redaksi ayat dan kemudian pahami maka kita dapat ketemukan makna yang sesungguhnya :
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).
Menurut terjemahan umum diatas adalah demikian adanya. Tapi coba perhatikan lafaz تَنْهَىpada ayat ini, jika kita mempelajari bahasa arab, maka kita mengetahui bahwasanya تَنْهَىmerupakan fi’il (kata kerja) dari kata الصَّلَاةَdalam bentuk fiil mudhari yaitu kata kerja yang digunakan untuk menunjukkan keterangan waktu sekarang dan masa yang akan datang.
Jadi sebenarnya dan seharusnya arti dari terjemahan ayat diatas adalah, “Sesungguhnya saat sedang shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” Dan jika terjemahan serta maknanya seperti ini, maka benarlah firman Allah karena orang yang sedang shalat itu tiadalah mungkin ia melakukan keji dan mungkar, contoh mudahnya orang yang sedang shalat tiadalah mungkin mempunyai sifat pendusta serta tidak mungkin ia korupsi, mengapa ? coba anda perhatikan pernahkan ada orang shalat dalam keadaan sendiri atau berjamaah ia mengurangi jumlah rakaat shalat atau melebihkannya ?
Mungkin ketika kami memberikan makna tersebut, banyak diantara kita terbesit, ‘wah kalau begitu saat sedang shalat saja dong gak maksiatnya?’ maka kami akan katakan, ‘ya’. Karena orang yang sedang dalam keadaan shalat tiadalah mungkin ia bermaksiat. Dan oleh sebab itu maka sebaiknya kita harus shalat sepanjang waktu.
Pasti akan timbul pertanyaan lagi, shalat sepanjang waktu? Shalat kan ada waktu-waktunya ? betul, tapi itu adalah shalat dalam makna khusus. Sedangkan shalat dalam ayat ini adalah shalat bermakna umum, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama, shalat itu artinya adalah doa, dan doa artinya adalah dzikir, sedangkan dzikir itu adalah mengingat Allah. Nah bukannya dzikir itu bisa sepanjang waktu?
Jadi kesimpulannya ayat ini menerangkan, “Orang yang senantiasa dalam keadaan mengingat Allah pastilah tidak mungkin ia melakukan perbuatan keji dan mungkar, karena ia mengetahui bahwasanya Allah selalu mengawasinya.”
Wallahu’alam

Ibadah


Ibadah adalah merupakan suatu ritual atau cara untuk menyembah kepada sang Pencipta yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini, yaitu Allah Ta’ala. Secara umum, Ibadah dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bernilai kebaikan yang bukanlah suatu perbuatan buruk yang tercela lagi terlarang untuk dilakukan, dimana suatu kebaikan itu didasari dengan niat beribadah kepada Allah. Seperti orang makan, makan tersebut bisa bernilai ibadah tatkala ia sebelum makan berniat bahwasanya ia makan akan badan kuat dan sehat, sehingga dapat mengerjakan shalat. Dan masih banyak lainnya. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh sahabat Umar bin Khattab bahwasanya ia mendengar Rasulullah bersabda
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya semata-mata setiap amal itu tergantung dengan niatnya.”
Ibadah itu sendiri sebenarnya terbagi ke dalam tiga macam : Ibadah Wajib, Ibadah Sunnah dan Ibadah Mubah. Ibadah Mubah adalah ibadah yang pada dasarnya ia bukanlah merupakan suatu perbuatan yang bernilai Ibadah, akan tetapi disebabkan niat dari pelakunya perbuatan itu dapat bernilai ibadah, hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas, bahwasanya orang makan dapat bernilai ibadah. Sedangkan Ibadah Wajib dan Ibadah Sunnah ialah :
  1. Ibadah Wajib : Ibadah - ibadah yang telah ada dalil yang mewajibkannya dari Al-Qur’an ataupun Al-Hadits, seperti Ibadah Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji Ke Baitullah. Ibadah jenis ini kewajibannya mutlak dan tak dapat diganggu gugat, apabila ada seorang muslim yang mengingkari akan kewajiban ibadah ini, maka para seluruh ulama sepakat bahwasanya orang itu dihukumi sebagai orang yang kafir.
  2. Ibadah Sunnah : Ibadah – ibadah selain dari ibadah yang wajib, biasanya hanya ditunjukkan dari hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah Sunnah ini biasanya yang menjadi pelengkap dan pengiring ibadah wajib itu sendiri. Seperti Shalat Sunnah (dengan berbagai jenis modelnya), Sedekah Sunnah (Sedekah Wajib itu adalah Zakat), Puasa Sunnah, Umrah dan sebagainya. Sebagian dari Ibadah Sunnah ini tidak akan diterima tanpa disertai dengan mengerjakan Ibadah Wajib itu sendiri. Pembahasan lebih luasnya akan kami buat pada pembahasan khusus nanti. Insya Allah.
Selain dibagi kedalam ketiga macam diatas, sebenarnya para ulama-ulama terdahulu telah membagi Ibadah ke dalam dua Jenis Besar, yaitu :
  1. Ibadah Mahdhah
Ibadah Mahdhah atau disebut juga dengan ibadah khusus, dimana ibadah jenis ini adalah Ibadah-ibadah yang telah Allah tetapkan tingkat, tata cara serta perincian-perinciannya. Seperti Ibadah Wudhu, Tayammum, Mandi Hadits serta seluruh Ibadah Wajib yang telah kami jelaskan di atas. Ibadah jenis ini pada dasarnya memiliki 4 prinsip dasar :
-        Ibadah jenis ini  keberadaannya ditetapkan oleh wahyu, baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah.
-        Tatacaranya harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, karena begitulah tujuan Rasulullah diutus, sebagaimana firman Allah,
-        وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64) وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
-        Ibadah jenis ini adalah ibadah yang bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah jenis ini tidak dapat diukur dengan logika, karena ibadah ini adalah berdasarkan wahyu yang tidak dapat diganggu gugat.
-        Prinsip atau dasar seorang hamba melaksakan ibadah ini adalah kepatuhan dan ketaatan kepada Dia yang telah mewajibkannya.
  1. Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ini dapat juga dikatakan sebagai ibadah Umum atau segala macam perbuatan yang pada dasarnya diizinkan oleh Allah untuk dilakukan. Seperti Belajar, Dzikir, tolong-menolong dan lain sebagainya. Ibadah jenis ini juga sama seperti ibadah mahdhah yang memiliki empat prinsip dasar, yaitu :
-        Keberadaan ibadah ini didasarkan tidak adanya dalil yang melarang, jadi selama Allah dan Rasulnya tidak melarang, maka perbuatan itu dihukumi boleh untuk dikerjakan.
-        Tatacaranya tidak perlu mencontoh kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, karena dalam jenis ibadah ini tidak ada istilah bid’ah, mengenai pembahasan ini nanti akan diuraikan pada artikel mengenai Bid’ah.
-        Ibadah jenis ini bersifat rasional dan masuk akal, jadi ibadah jenis ini dapat dinilai oleh akal akan baik dan buruknya.
-        Prinsip atau dasar seorang hamba melaksanakan ibadah jenis ini adalah manfaat. Jadi selama itu bermanfaat boleh.

Wallahu’alam

Total Pengunjung

Powered by Blogger.

Pencarian