Website Baru Kami, Klik Gambar

Website Baru Kami, Klik Gambar
Kajian Ilmu Agama Islam

Hadist Dhoif

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin.
Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujj
ah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.

Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110),
Sabda beliau SAW pula : "Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw. Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?. Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy).

Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits. Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini?, mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya, seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka?, apa yang mereka fahami dari ilmu hadits?, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.

Sungguh buku-buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu?, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya?, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?, mengapa? Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.

Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka. Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama. Oleh sebab itu, sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.

Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku-buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya?, cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau
berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam-imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya. Sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin,
maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”
Berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi. Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para
Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “Dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”.

Selanjutnya

Walillahittaufiq

Bantulah Dakwah kami dengan membeli buku-buku islami yang kami jual di www.tokomustaqim.blogspot.com
Dan artikel ini juga termuat dalam www.minhajulmustaqim.co.cc

SYUKURI NIKMAT ALLAH, JANGAN MENGINGKARINYA


Rasulullah saw. bersabda,
اَلتَّحَدَّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ ، وَمَنْ لَا يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَا يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ ، وَمَنْ لَا يَشْكُرِ النَّاسَ لَا يَشْكُرِ اللهَ .
”Menyebut-nyebut nikmat Allah merupakan (perbuatan) syukur dan meninggalkannya berarti kufur (ingkar kepada nikmat Allah). Barangsiapa tidak mensyukuri nikmat yang sedikit ia tidak pula akan mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barangsiapa tidak berterima kasih kepada orang lain ia tidak akan berterima kasih pula kepada Allah.” (HR. Baihaqi)
Penjelasannya :
Yang dimaksud dengan menyebut-nyebut nikmat Allah ialah seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ .
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (Adh-Dhuha: 11)
Yang dimaksud kufrun dalam hadist ini ialah ingkar terhadap nikmat Allah, bukan ingkar kepadaNya. Barangsiapa tidak bersyukur kepada Allah karena mendapat nikmat yang sedikit berarti ia pun tidak akan bersyukur bila mendapat nikmat yang banyak. Barangsiapa yang berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Orang yang bersifat demikian disebut orang yang ingkar terhadap nikmat Allah, dan ia berdosa karena perbuatannya itu. Allah swt. Berfirman,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Taubat Nasuha

Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khaththab ra. Berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘Dulu sebelum kamu, ada tiga orang berjalan-jalan kemudian mereka mendapatkan sebuah gua yang dapat dimanfaatkan untuk berteduh, maka merekapun masuk ke dalamnya. Kemudian tiba-tiba ada batu dari atas bukit yang menggelinding dan menutupi pintu gua itu sehingga mereka tidak dapat keluar.

Salah seorang diantara mereka berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada yang dapat menyelamatkan kamu sekalian dari bencana ini kecuali bila kamu sekalian berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal-amal shalih yang pernah kalian perbuat.’

Salah seorang dari mereka menimpali, ‘Ya Allah saya mempunyai ayah ibu yang sudah tua renta, saya biasa mendahulukan memberi minuman susu kepada keduanya sebelum saya memberikannya kepada keluarga dan budak saya. Pada suatu hari saya terlambat pulang dari mencari kayu dan saya menemui keduanya sudah tidur, saya terus memerah susu untuk persediaan minum keduanya. Karena saya mendapati mereka berdua telah tidur maka saya pun enggan untuk membangunkan mereka. Kemudian saya berjanji tidak akan memberi minuman susu itu baik kepada keluarga maupun kepada budak sebelum saya memberi minum kepada ayah bunda.

Saya menunggu ayah bunda, hingga terbit fajar barulah keduanya bangun sementara anak-anakku menangis, mereka mengelilingi kakiku. Setelah mereka bangun, kuberikan minuman susu kepada keduanya. Ya Allah, jika saya berbuat seperti itu karena mengharapkan wajahMu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini.’ Maka bergeserlah batu itu tetapi mereka belum bisa keluar dari gua tersebut.

Yang lain berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai saudara sepupu yang sangat saya cintai.’ Pada riwayat yang lain dikatakan, ‘Saya sangat mencintainya sebagaimana lazimnya orang laki-laki mencintai seorang perempuan, kemudian saya ingin berbuat zina dengannya tetapi ia selalu menolaknya. Selang beberapa tahun ia tertimpa kesulitan kemudian datang kepada saya dan saya berikan kepadanya 120 dinar, dengan syarat ia harus berzina denganku, dan ia pun setuju.

Ketika saya sudah menguasainya, pada riwayat lain dikatakan, kemudian ketika saya berada di antara kedua kakinya dia berkata, ‘Takutlah kamu kepada Allah dan jangan kau melakukannya kecuali dengan cara yang benar (nikah dahulu).’ Kemudian saya meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang sangat saya cintai dan saya telah merelakan emas (dinar) yang saya berikan kepadanya. Ya Allah, jika saya berbuat seperti itu karena mengharapkan ridhaMu, geserkanlah batu yang menutupi gua ini.’ Maka bergeserlah batu itu tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu.

Orang yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, saya memperkerjakan beberapa karyawan dan semuanya saya gaji dengan sempurna kecuali ada seorang yang pergi meninggalkan saya dan tidak mau mengambil gajinya terlebih dahulu. Kemudian gaji itu saya kembangkan sehingga menjadi banyak.

Selang beberapa lama dia datang kepada saya dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikanlah gaji saya yang dulu itu.’ Saya berkata, ‘Semua yang kamu lihat itu baik onta, sapi, kambing maupun budak yang mengembalakannya adalah gajimu.’ Ia berkata, ‘Wahai hamba Allah, janganlah engkau mempermainkan saya.’ Saya menjawab, ‘Saya tidak mempermainkan kamu.’ Kemudian dia mengambil semuanya dengan tidak meninggalkan sedikit pun. Ya Allah, jika saya berbuat itu karena mengharap ridhaMu, maka geserkanlah batu itu.’ Lalu batu itu bergeser dan mereka dapat keluar dari dalam gua.”

~ PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:

1. Anjuran untuk memanjatkan doa pada saat-saat genting dan kritis, atas dasar melaksanakan perintah Allah.

وَقَالَ رَبُّكُلمُ اْدْعُونىِ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir: 60)

2. Bertawassul dengan cara yang disyariatkan yakni dengan amal shalih.

3. Bahwa takwa itu sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang terutama ketika berhadapan dengan situasi genting.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ ,مَخْرَجًا

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Ath-Thalaq: 2)

4. Keutamaan berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada keduanya dan lebih mendahulukan keduanya dari yang lain.

5. Keutamaan iffah dan menjauhkan diri dari segala yang haram.

6. Diperbolehkan ijarah, yaitu suatu aqad untuk memperoleh manfaat dalam waktu tertentu dengan bayaran setimpal, sebab dalil diperbolehkannya berasal dari al-Qur’an,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ فَأَتُوهٌنَّ أُجُورَهُنَّ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Ath-Thalaq: 6)

Dan dari as-Sunnah

ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : وَذَكَرَ مِنْهُمْ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرً فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

”Ada tiga golongan yang Aku (Allah) menjadi musuh mereka pada hari kiamat, di antaranya: Seseorang yang menyewa tenaga orang namun setelah terpenuhi ia tidak membayar upahnya.” (HR. Bukhari)

7. Keutamaan menepati janji

8. Keutamaan menunaikan amanah dan lapang dada dalam pergaulan.

9. Penetapan adanya karamah para wali sebagaimana pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kunjungi Web Kami www.minhajulmustaqim.co.cc

Bagi Saudara-saudari sekalian yang berkenan untuk membantu dakwah online, -Kajian Ilmu Agama (Quran, Hadist, Fiqih)- atau –minhajulmustaqim.co.cc- . Dapat membantu dengan mengirim pulsa ke nomor 085717579394, pulsa 100 perak pun akan dapat sangat membantu. Pulsa tersebut digunakan semata-mata untuk online, facebook, dan web kami.

Total Pengunjung

Powered by Blogger.

Pencarian