Website Baru Kami, Klik Gambar

Website Baru Kami, Klik Gambar
Kajian Ilmu Agama Islam

PERINGATAN MAULID NABI SAW

Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya


Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)

Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya,
dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)

Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)

dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw
asal dengan puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan
beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw.
Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh
boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi
beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.
Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat
umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..
bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang
berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1
januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian
pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia
tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak
memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat
ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar
pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1
januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa
boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya
pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw
menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai
tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka
jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau
saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka
Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka
Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi
saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,
dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan
dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala
shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran
Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan
Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di
neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku
Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits
no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul
PERINGATAN MAULID NABI SAW
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 16
baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh,
namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut
kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira
dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi
orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas
kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya
menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam
dan mereka tak mengingkarinya.dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw
asal dengan puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan
beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw.
Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh
boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi
beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.
Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat
umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..
bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang
berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1
januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian
pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia
tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak
memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat
ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar
pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1
januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa
boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya
pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw
menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai
tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka
jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau
saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka
Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka
Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi
saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,
dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan
dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala
shahihain hadits no.5417)
Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran
Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan
Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di
neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku
Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits
no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul
PERINGATAN MAULID NABI SAW
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 16
baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh,
namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut
kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira
dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun
mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi
orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas
kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya
menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam
dan mereka tak mengingkarinya.

Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).
Dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw
asal dengan puasa. Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.

Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam. Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran
Nabi saw


Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yang memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan
kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam
kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam
kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
Dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang
terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi

Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy
Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy
Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy
yang terkenal dengan ibn diba’
Dengan maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami
Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri
Mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn
hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’
Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji
Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
Dengan maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

27. Syihabuddin Al Halwani
Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy
Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi
Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang mauled sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam
dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa
risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang
dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin
Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk
tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian
pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang
dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk
majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk
kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan
berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk,
dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa,
sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang,
namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk
Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal
93)

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca
maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul
saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw
hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah
masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas
adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah
melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw. Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam-Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji-pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk mam Assubkiy dan seluruh Imam imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan
berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah
menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib .

Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi. Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

Wabilillahittaufiq

BID’AH

Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan
tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat
buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits
no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi
Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan
makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila
kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas
islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik
ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi
ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian
ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru
demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk
kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah
makna ayat :
“ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan
bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,

Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam
kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya
islam,

Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah,
karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll,
berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya
selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian
turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat
kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan
dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah
diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw :
“Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang
disebut Bid’ah Dhalalah.

Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka
beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya
dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal
yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan
agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah
saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk
sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan
Tabi’in.

Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah
wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang
mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah
Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :
“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas
ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an,
lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis
Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh
Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan
dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd)
adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau
telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah
Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung
daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga
iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih
Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui
dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah)
yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan
menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit
onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang
memulainya.
Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah
mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas
BID’AH
www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 6
melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah
yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata :
“Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri
wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa
kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang
Budak afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat
banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat
dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal
hal yang baru, sungguh semua yang Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak
Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan
sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yang
baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah
anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui
bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan
oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa
Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya
memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula
dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata :
“Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan
Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan
nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di
Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah
Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa
Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).
Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?,
adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna
Bid’ah?
Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk
pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti
penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin,
nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar
syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh
Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan
muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin,
bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana
sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul
saw.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan
dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada
perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing,
melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat
Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah
Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan
menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat
memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun
Bid’ah Hasanah.

Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa
mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul
saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena
kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan
tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul
pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-
Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.

Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-
Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak
dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan
sejarah Islam ?

Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra
yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di
zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya,
yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan
hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih
mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita
masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi,
jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah
mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah),
mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa
keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan
Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an,
sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan
Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra
mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra)
meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih
menerima hal hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra,
hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
dijernihkan Allah swt,
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka
barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan
mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan
Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya
berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi
Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah
(Imam Syafii)

Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan
bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan
yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar
bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam
Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi
berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan
adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri
muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak
sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu
‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya
dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir
Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
rahimahullah (Imam Nawawi)


“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang
baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua
yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk
dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah
yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah
yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan
yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yang Mubah adalah
bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum,
sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”.
(Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
rahimahullah


Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang
umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan
segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau
pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam
dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada
kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku
dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun
setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman
para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?,
berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia
tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak
punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa
memperdulikan fatwa fatwa para Imam?
Walillahittaufiq

Ancaman Meninggalkan Shalat Berjamaah dan Hukumnya

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku pernah bermaksud menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Kemudian, aku memerintahkan untuk shalat lalu azan pun dikumandangkan. Setelah itu, aku menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat berjamaah. Lalu, aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak memenuhi panggilan shalat, dan aku bakar rumah mereka saat mereka berada di dalamnya." (Muttafaq 'alaih)

Pelajaran-pelajaran Hadist:
1. Ada ancaman sangat keras bagi orang yang meninggalkan shalat berjamaah tanpa ada alasan yang kuat.
2. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat berjamaah selain shalat jum'at.

a) Fardhu 'ain bagi laki-laki merdeka, bukan musafir, dan tidak ada halangan lain. Pendapat ini diperkuat oleh hadist ini dan hadist dari ummi maktum ra. yang bertanya, "Wahai Rasulullah, di kota madinah banyak binatang melata dan buas." Maka Rasulullah saw. bersabda,
"Apabila kamu mendengar, Hayya 'alash shalaah hayya 'alal falaah, maka kamu harus mendatanginya." (HR.Abu Dawud)

b) Fardhu kifayah karena kejadian dalam hadist ini ditujukan kepada orang-oran munafik yang tidak mau datang untuk shalat berjamaah. Selain itu, shalat berjamaah merupakan syiar Islam, dan bisa terwakili oleh sebagian kaum muslimin.

c) Sunnah, karena maksud hadist-hadist seperti ini adalah anjuran. Seandainya wajib, tentu Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah. Tapi, karena beliau tidak menjatuhkan hukuman, maka perintah ini berarti sunnah muakkad (yang ditekankan).

Selanjutnya

Keteguhan Hati pada Kebaikan

Rasulullah saw. bersabda,
"Perumpaan hati itu seperti sehelai bulu di tanah yang lapang yang mudah dibolak-balikkan angin." (HR.Ahmad)

Hadist ini sebagaimana doa Rasulullah saw. yaitu,
"Wahai Yang Memalingkan hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu. Wahai Yang Membalikkan hati, balikkanlah hati kami kepada ketaatan-Mu." (HR.Tirmidzi)

Hati yang teguh pada kebaikan dan keburukan, serta keraguan-raguan antara keduanya, ada tiga macam:

1. Hati yang marak dengan takwa, suci karena latihan, bersih dari noda-noda akhlak. Bisikan-bisikan kebaikan dari simpanan alam ghaib menyusup ke dalamnya dan diberi petunjuk.

2. Hati yang terlantar, diisi nafsu, ditaburi noda dan dipolesi akhlak yang tercela. Kekuasaan setan menjadi kuat di dalamnya, karena tempat berpijaknya cukup luas, sedangkan kekuasaan iman menjadi lemah, dan hati itu pun dipenuhi dengan asap-nafsu, cahaya pun menjadi hilang. Ia layaknya mata yang di hadapannya penuh dengan asap tebal, tidak bisa melihat, tidak ada gunanya nasihat dan peringatan.

3. Hati yang mulanya dilintasi hawa nafsu dan mengajaknya kepada keburukan, lalu muncul lintasan iman dan dapat mengajaknya kepada kebaikan.

Allah berfirman,
"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit." (Al-An'am: 125)

Kezaliman Lawan dari Keadilan (bag.2)

Allah berfirman,
"Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya." (Al-Muddatstsir: 38)

Allah berfirman,
"Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Qur'an agar setiap orang tidak terjerumus (ke dalam neraka), karena perbuatannya sendiri. Tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat (pertolongan) selain Allah. Dan jika dia hendak menebus dengan segala macam tebusan apa pun, niscaya tidak akan diterima. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan (ke dalam neraka), disebabkan perbuatan merek sendiri." (Al-An'am: 70)

Kata Tubsala berarti tergadai, tertahan, dan tertawan, sebagaimana orang yang sakit jika ia telah sembuh dari sakitnya dikatakan, "temperaturnya sudah normal", karena (menyembuhkan) penyakit hanyalah dengan menurunkan temperatur disertai keseimbangan yang murni dan selamat dari percampuran tidak ada jalan lain, tapi setiap contoh di atas adalah contoh yang mungkin digambarkan. Demikian pula kesehatan hati, kebaikannya ada pada keseimbangan dan sakitnya ada pada ketidakpuasan, kezaliman, dan penyimpangan. Keadilan yang murni dalam segala sesuatu yang tidak bisa dinistakan baik secara ilmu pengetahuan maupun dalam prakteknya, akan tetapi sekali lagi setiap contoh di atas contoh yang mungkin digambarkan, karenanya dikatakan, "Ini adalah contoh-contoh pendekatan", dan dikatakan untuk jalan yang ditempuh salaf- At-Tahariq Al-Mutsla (Jalan yang dicontohkan).

Allah berfirman,
"Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (An-Nisa: 129)

Allah berfirman,
"Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya." (Al-An'am: 152)

Dan Allah telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia mampu berbuat adil, dan keadilan yang paling luhur adalah beribadah kepada Allah Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, bersikap adil atas hak-hak manusia, dan adil atas diri sendiri.

Kezaliman Lawan dari Keadilan (bag.1)

Adil artinya seimbang, dan seimbang adalah baiknya keadaan hati, sebagaimana kezaliman adalah tanda kerusakan hati, karenanya sebagian besar dosa-dosa menjadikan seorang menzalimi dirinya.

Zalim merupakan lawan kata dari adil. Maka orang yang tidak berbuat adil pada dirinya, sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri. Baiknya keadaan hati ada dalam keadilan, dan kerusakkanya ada pada kezaliman. Jika seorang menzalimi dirinya maka dia menjadi orang yang zalim sekaligus menjadi orang yang terzalimi. Sebaliknya, jika seseorang berbuat adil, maka ia menjadi orang yang adil dan menjadi orang yang akan disikapi dengan adil, karenanya perbuatan itu akan menuai balasan sesuai dengan kebaikan dan keburukannya. Allah berfirman,
"Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Al-Baqarah: 286)

Perbuatan itu mempunyai pengaruh dalam hati, baik dari segi manfaat, mudharat, dan kemudharatannya. Baiknya keadaan hati memberikan pengaruh pada kondisi luarnya (inner beauty), baiknya hati berarti keadilan baginya, sedangkan rusaknya berarti kezaliman atasnya.

Allah berfirman,
"Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri." (Fushshilat: 46)

Allah berfirman,
"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." (Al-Isra': 7)

Sebagian ulama salaf berkata, "Sesungguhnya kebaikan adalah cahaya dalam hati, kekuatan pada badan, cahaya pada wajah, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan dalam hati setiap makhluk. Dan sebaliknya, kejahatan adalah kegelapan dalam hati, hitam pada wajah, kelemahan pada badan, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian dalam hati setiap makhluk."

Allah berfirman,
"Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya." (Ath-Thur: 21)

Selanjutnya

Jumlah yang disebut Berjama'ah

Jumlah minimal peserta shalat jama'ah adalah 2 orang. satu orang sebagai imamnya, dan yang satunya menjadi makmum. Semakin banyak jumlah peserta shalat jama'ah, maka itu lebih dicintai Allah, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Shalat seseorang bersama seorang lebih banyak pahalanya dari shalatnya sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih banyak pahalanya dari shalatnya dengan seorang. Dan tidaklah semakin banyak, Maka ia akan lebih dicintai oleh Allah." (HR.Ahmad)

Pelaksanaan shalat jama'ah dimasjid itu lebih utama dan masjid yang jauh itu lebih utama daripada masjid yang dekat, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya manusia yang paling besar pahalanya ialah orang yang paling jauh berjalan ke masjid."

Memakan Harta Anak Yatim secara Zhalim

Allah berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang yan memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (An-Nisa': 10)

Allah juga berfirman,
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat)...." (Al-An'am: 152)

Dan Nabi saw. bersabda,
"Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan..." Lalu beliau menyebutkan di antaranya adalah, "..dan makan harta anak yatim."

Dan setiap wali yang miskin dari seorang anak yatim yang makan dengan cara yang baik (dari harta anak yatim tersebut), maka tidak apa-apa atasnya, sedangkan apa yang lebih dari batas kepatutan maka itu harta yang haram yang tidak ada keberkahannya. Dan kepatutan yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikenal dalam adat tata krama di tengah masyarakat Mukmin yang tidak disertai dengan tujuan-tujuan yang keji.

Takwa adalah Pelita Kehidupan

Allah berfirman,
"Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu." (Al-Anfal: 29)

Para ulama salaf berpendapat mengenai firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan furqan adalah nur (cahaya) yang dengannya dapat dibedakan antara yang haq dengan yang batil. Sebagaimana pula mereka mengatakannya sebagai "Bashiira" (petunjuk). Ayat tersebut berlaku umum untuk semua bentuk jalan keluar dari kesempitan baik bersifat lahiriah maupun kesempitan batiniah.

Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah,
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit." (Al-An'am: 125)

Hal tersebut berlaku umum untuk kondisi fisik dan suasana hati antara ilmu dan iman, sebagaimana hal seperti itu disebutkan dalam firman Allah,
"...dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (Al-Baqarah: 3)
dan juga sebagaimana firman-Nya,
"...dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit." (Al-Baqarah: 22), yaitu Al-Qur'an dan iman.

Memakan Riba

Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu." (Al-Baqarah: 278-279)

Allah juga berfirman,
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila..."
Hingga FirmanNya,
"Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 275)

Ini adalah ancaman yang besar, yaitu kekal di dalam neraka, sebagaimana yang Anda lihat, bagi orang yang kembali memakan (menggunakan) harta riba setelah datangnya nasihat. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah.

Nabi saw. bersabda,
"Allah melaknat orang yang memakan harta riba dan orang yang memberikannya." (HR.Muslim)
dan dalam riwayat Tirmidzi ada tambahan,
"..juga dua orang yang menjadi saksi dan juru tulisnya."

Nabi saw. juga bersabda,
"Orang yang memakan riba dan orang yang memberikannya, serta juru tulisnya apabila mereka mengetahui hal itu, maka mereka terlaknat melalui lisan Muhammad saw. pada Hari Kiamat." (HR.Nasa'i)

Dan Nabi saw. bersabda,
"Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan." Mereka bertanya, "Apa saja itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, menuduh wanita-wanita beriman yang terpelihara (oleh Allah) tetapi lengah dari perbuatan yang membuatnya tertuduh berbuat zina." (Muttafaq 'Alaih)

Daruratnya Berobat

Mengenai daruratnya berobat -yakni sejauh mana seseorang diperkenankan menggunakan barang haram untu mengobati penyakit- para ahli fiqih berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa berobat tidak darurat sebagaimana halnya makan (kelaparan). Mereka beralasan dengan hadist:
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat untukmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu." (HR.Bukhari)

Sebagian lagi menganggap sakit sebagai darurat, dan menjadikannya berobat sebagaimana halnya makan. Keduanya merupakan keharusan bagi kelangsungan hidup. Di dalam memperbolehkan menggunakan benda haram untuk berobat ini, mereka beralasan dengan riwayat yang menceritakan bahwa Nabi saw. memberi izin kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubeir bin al-Awwam ra. untuk menggunakan sutra karena badannya terkena penyakit gatal, padahal beliau melarang memakai sutra dan amat mengecamnya.
Pendapat ini lebih dekat kepada ruh (jiwa) agama Islam yang senantiasa memelihara dan melindungi kehidupan manusia dalam semua syariat dan pesan-pesannya.

Akan tetapi keringanan untuk berobat dengan yang haram itu harus memenuhi beberapa persyaratan:
1. Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak menggunakan obat tersebut.
2. Tidak terdapat obat yang halal secara memadai, yang dapat menggantikannya.
3. Hal ini harus didasarkan atas advis dokter Muslim yang dapat dipercaya tentang keilmuan dan keagamaannya sekaligus.

Kami katakan demikian berdasarkan realita yang kami ketahui dan dari hasil penelitian dokter-dokter terpercaya, bahwa tidak ada darurat kedokteran yang menetapkan bolehnya menggunakan sesuatu yang haram ini seperti berobat. Akan tetapi, kami menetapkan prinsip ini sebagai sikap kehati-hatian bagi seorang Muslim yang kadang-kadang berada di suatu tempat yang tidak didapati obat di sana kecuali benda-benda haram ini.

Sifat Jaiz bagi Allah

Kalau sudah diyakini sifat yang 20 yang wajib ada pada Tuhan, dengan sendirinya kita mengetahui 20 sifat yang mustahil (tidak mungkin ada) pada Tuhan, yaitu lawan dari 20 sifat yang telah kami sebutkan.

Dengan mengetahui yang 20 wajib dan 20 yang mustahil maka kita sudah membayarkan yang bertalian dengan I'itiqad tentang Ketuhanan.

Tinggal satu lagi, yaitu yang "Jaiz" bagi Tuhan. Arti jaiz di sini ialah boleh Dia kerjakan dan boleh tidak.

Allah bersifat jaiz (boleh membuat dan boleh pula tidak memperbuat) seluruh pekerjaan yang mungkin atau tidak mungkin diadakan, Tuhan tidak dipaksa untuk membuat atau untuk tidak membuat.
Allah berfirman tentang sifat ini,
"Jika Dia menghendaki, niscaya Dia akan memberi rahmat kepadamu, dan jika Dia menghendaki, pasti Dia akan mengazabmu." (Al-Isra: 54)

Demikian 20 sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil dan 1 sifat yang harus bagi Tuhan semesta alam, yang wajib diketahui secara mendalam oleh setiap muslim yang sudah baligh dan mempunyai aqal.

Orang yang tidak mengetahui secara mendalam sifat-sifat ini, niscaya ia tidak akan mengerti dan tidak akan yakin hal-hal yang bertalian dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Anjuran Bertanya tentang Keadaan Orang yang Sakit

Dari Ibnu Abbas ra. berkata,
"Bahwa Ali bin Abu Thalib ra. keluar dari rumah Rasulullah saw. pada saat beliau sakit menjelang wafat. Lalu, orang-orang bertanya kepadanya, 'Hai Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib), bagaimana keadaan Rasulullah saw.?' Ia menjawab, 'Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), (beliau akan) segera sembuh'." (HR.Bukhari)

Hadist yang mauquf (disandarkan kepada sahabat) menganjurkan kita umat islam, untuk bertanya tentang keadaan orang yang sakit jika ada uzur (halangan) untuk menjenguknya, karena hal itu bisa membuatnya (orang yang sakit) senang jika diketahui.

Dan di dalam hadist ini juga, menganjurkan bagi orang yang ditanya tentang kondisi orang yang sakit untuk menjawab dengan yang menenteramkan hati penanya dan yang sakit sehingga dapat menenangkan jiwa keduanya.

Perkara yang menjadi Milik Allah dan Hamba-Nya

Allah berfirman,
"Hai anak Adam ada tiga perkara (yang mesti kalian ketahui); satu milik-Ku, satu milikmu, dan yang satunya lagi adalah milik-Ku dan juga milikmu. Perkara yang menjadi milik-Ku adalah pengabdianmu kepada-Ku, dan kamu tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Perkara yang menjadi milikmu adalah balasan dari amal perbuatan yang telah kamu kerjakan. Jika Aku mengampuni (kamu) karena Aku Tuhan-mu yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Adapun perkara yang menjadi milik-Ku dan milikmu adalah kamu diharuskan untuk berdoa dan meminta kepada-Ku, sedangkan yang berhak mengabulkan dan memberimu hanyalah Aku." (HR.Thabrani)

Semua perbuatan kalian akulah yang membalasnya. Makna yang dimaksud ialah bahwa segala amal perbuatan anak Adam kelak akan diberi balasannya oleh Allah. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik pula; dan jika amal perbuatannya buruk maka balasannya pun buruk pula. Akan tetapi sekalipun demikian jika Allah menghendaki memberi kepada seseorang hamba-Nya, maka Dia mengampuninya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.
Adapun perkara yang menjadi milik Allah dan juga milik manusia ialah manusia diwajibkan berdoa dan meminta kepada-Nya, sedangkan Dia yang akan mengabulkan dan memberinya. Hal ini seperti pengertian yang terkandung dalam firman-Nya:
"Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu'." (Al-Mu'min: 60)

Memang Allah telah menjamin akan memperkenankan setiap doa dan permintaan, tetapi menurut apa yang Dia kehendaki dan bukan menurut apa yang dikehendaki oleh pemintanya. Dan juga menurut waktu yang dikehendaki-Nya dan bukan menurut waktu yang dikehendaki oleh pemintanya.

Pembagian Manusia Menurut Para Ulama

Manusia terbagi menjadi empat kelompok besar:

Pertama: Pecinta dunia murni, yaitu mereka yang berpaling dari akhirat.

Kedua: Pecinta agama yang rusak, yaitu orang-orang kafir, pelaku-pelaku bid'ah yang beragama tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah.

Ketiga: Manusia pemeluk agama yang shahih, yaitu pemeluk Islam yang berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah serta Jamaah - segala puji bagi Allah yang telah memberi kita petunjuk dari agama ini, dan tidaklah kita mendapat petunjuk sekiranya bukan karena petunjuk dari Allah dengan diutusnya seorang Rasul-.

Keempat: Orang yang diberikan oleh Allah ilmu dan harta kemudian ia menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah. Seseorang berkata, "Jikalau sekiranya aku memiliki seperti yang dimiliki oleh si Fulan itu, maka aku akan beramal sepertinya." Maka Rasulullah saw. bersabda, "Keduanya mendapat pahala yang sama." (HR.Tirmidzi)

At-Tirmidzi meriwayatkan hadist ini secara panjang dan ia berkata, "Hadist ini hasan shahih." Kesamaan di dalam pahala dan dosa pada hadist ini adalah orang yang berkata demikian dan ia jujur terhadap perkataannya, maka Allah mengetahui akan keinginannya tersebut dan tidak akan berbeda perbuatan darinya kecuali perbedaan kemampuan dan ini adalah kesamaan dalam ganjaran dan dosa.

Hukum Shalat Berjama'ah dan Imamah dalam Shalat

Shalat berjama'ah menurut pendapat sebagian besar ulama fardhu kifayah atau sunnah muakkad bagi laki-laki yang mukim (bukan musafir), hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw,
"Shalat berjama'ah lebih utama (dibanding) shalat sendirian dengan 25 atau 27 derajat." (HR.Bukhari & Tirmidzi)

Dan juga sabda beliau,
"Tidaklah tiga orang disebuah desa atau lembah yang di desa itu didirikan shalat berjama'ah, kecuali setan akan mengalahkan mereka." (HR.Abu Dawud)

Imamah dalam shalat
- Orang yang utama menjadi imam adalah orang yang afqah (paling pintar ilmu fiqih), bukan orang yang paling fasih bacaannya. Karena orang ahli ilmu fiqih lebih mengerti tentang shalat itu sendiri, khususnya di zaman sekarang.

- Seorang anak yang mendekati usia baligh boleh menjadi imam orang-orang dewasa. Sebagaimana riwayat,
"Sesungguhnya Amir bin Salamah mengimami kaumnya, sedang ia masih anak kecil." (HR.Bukhari)

- Tidak sah imamnya wanita atas laki-laki. Berdasarkan Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa yang berkunjung ke suatu kaum, maka janganlah ia menjadi imam mereka, dan hendaknya seorang laki-laki dari mereka yang menjadi imamnya." (HR.Abu Dawud)

Berbaik Sangka

Allah berfirman,
"Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan kaumnya) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustaka, datanglah kepada mereka (para rasul) itu pertolongan Kami." (Yusuf: 110)

Rasulullah saw. bersabda,
"Jauhilah oleh kalian berprasangka karena prasangka itu merupakan sedusta-dusta perkataan." (Muttafaq 'Alaih)

Rasulullah saw. juga bersabda,
"Allah merahmati Nabi Luth, sungguh beliau berlindung di rumah yang sangat kokoh. Sekiranya aku dimasukkan ke penjara sebagaimana Yusuf masuk penjara, maka aku memenuhi seruannya, dan kami lebih berhak untuk merasa ragu daripada Ibrahim ketika Tuhannya berfirman kepadanya, 'Apakah kamu tidak beriman?' Beliau berkata, 'Bukanlah demikian, tetapi hanya sekedar untuk menenangkan hatiku." (Muttafaq 'Alaih)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang yang sangat beriman dengan apa yang telah dikabarkan Allah kepadanya, tetapi beliau meminta sesuatu yang bisa menenangkan hatinya. Jarak antara keimanan dan ketenangan dinamakan oleh Nabi saw. dengan syak (keraguan), yaitu dalam masalah menghidupkan orang yang sudah mati.

Demikian juga janji kemenangan di dunia, terkadang seorang beriman dengan hal tersebut namun juga merasakan kegoncangan dalam hati dan membuatnya tidak tenang, dan hilangnya rasa ketenangan jiwa ini menyebabkan munculnya prasangka bahwa sesungguhnya Dia telah berdusta. Keraguan diperkirakan berasal dari satu pintu. Perkara-perkara ini tidak akan datang dari keimanan yang menjadi kewajiban, walaupun di antara sebagian prasangka itu ada yang merupakan dosa.

Durhaka Kepada Kedua Orang Tua {bag.3}

Dan beliau saw. bersabda,
"Bibi (adik perempuan ibu) adalah sekedudukan dengan ibu." (HR.Tirmidzi)

Dari Wahab bin Munabbih, dia berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Wahai Musa, hormatilah kedua orang tuamu, karena sesungguhnya orang yang menghormati kedua orang tuanya, maka Aku panjangkan umurnya dan Aku berikan anak yang akan berbakti kepadanya. Dan (sebaliknya) barangsiapa yang durhaka kepada kedua orang tuanya, akan Aku pendekkan umurnya dan akan Aku berikan anak yang akan durhaka kepadanya."

Ka'ab berkata, "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya Allah benar-benar menyegerakan kebinasaan seorang hamba apabila dia durhaka kepada kedua orang tuanya, agar Allah menyegerakan azab baginya, dan sesungguhnya Allah benar-benar akan menambah umur seorang hamba apabila dia berbakti kepada kedua orang tuanya agar semakin bertambah bakti dan kebaikannya."

Dan Abu Bakar bin Abi Maryam berkata, "Aku pernah membaca di dalam kitab Taurat bahwa orang yang memukul bapaknya, (hukumnya) dibunuh."

Wahab juga berkata, "Aku pernah membaca di dalam Taurat bahwa orang yang menampar orang tuanya, hukumnya dirajam."

Durhaka Kepada Kedua Orang Tua {bag.2}

Abdullah bin Amr ra. berkata,
"Seorang Arab Badui datang lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?' Beliau menjawab, 'Menyekutukan Allah'. Orang itu bertanya lagi, 'Lalu apa lagi?' Beliau menjawab, 'Durhaka kepada kedua orang tua.' Orang itu bertanya lagi, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Sumpah palsu'."

Darinya (Nabi) saw, beliau bersabda,
"Tidak akan masuk surga, seorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan tidak pula orang yang mendustakan Qadar (takdir)." (HR.Ahmad)

Isa bin Thalhah bin Ubaidillah meriwayatkan dari Amr bin Murrah al-Juhani ra,
"Bahwasanya seorang laki-laki berkata, 'Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan berhaji ke Baitullah; apa yang akan saya dapatkan?' Beliau menjawab, 'Barangsiapa yang melakukan demikian, maka dia akan bersama para nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang yang mati syahid; kecuali jika ia durhaka kepada kedua orang tuanya'." (HR.Ahmad & Thabrani)

Dari Bakkar bin Abdul Aziz bin Abi Bakrah, bapakku menceritakan kepada kami, dari Abu Bakrah secara marfu',
"Setiap dosa, Allah tunda pembalasannya sebagaimana yang dikehendakiNya hingga Hari Kiamat, kecuali durhaka kepada kedua orang tua; karena ia disegarakan bagi pelakunya." (HR.Hakim)

Dan Nabi saw. bersabda,
"Seorang anak tidak akan bisa membalas (kebaikan) orang tuanya, kecuali bila dia mendapatkan orang tuanya dalam keadaan sebagai budak lalu dia membelinya dan memerdekakannya." (HR.Muslim)

Dan dari beliau saw. dengan sanad yang hasan, beliau bersabda,
"Allah melaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR.Hakim)

Durhaka Kepada Kedua Orang Tua {bag.1}

Allah berfirman,
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah melainkan kepadaNya dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'Ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh sayang..." (Al-Isra': 23-24)

Allah juga berfirman,
"Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya..." (Al-Ankabut: 8)

Nabi saw. bersabda,
"Maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa besar yang paling besar?"... lalu beliau menyebutkan di antaranya adalah: "Durhaka kepada kedua orang tua". (Muttafaq 'alaih)

Dan Nabi saw. juga bersabda,
"Keridhaan Allah terletak kepada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah terletak pada kemukarkaan orang tua." (HR.Hakim)

Kemudian dari beliau,
"Orang tua adalah (sarana untuk mendapatkan) pintu surga yang tengah-tengah, maka jika engkau mau, silahkan engkau jaga, dan jika engkau mau, silahkan engkau sia-siakan." (HR.Tirmidzi)

Dan dari beliau saw. bersabda,
"Surga itu berada di bawah telapak kaki para ibu." (al-Kaba'ir)

Kemudian,
"Seorang laki-laki datang meminta izin (kepada Rasulullah saw.) untuk berangkat jihad bersama beliau, maka beliau bertanya, 'Apakah kedua orang tuamu masih hidup?' Laki-laki itu menjawab, 'Ya'. Beliau bersabda, 'Maka kepada mereka berdualah hendaknya engkau berjihad'." (Muttafaq 'alaih)

Nabi saw. juga bersabda,
"Ibumu, bapakmu, saudarimu, saudaramu, dan seterusnya ke bawah." (HR.Muslim)

Dan diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda,
"Tidak akan masuk surga, orang yang durhaka (kepada kedua orang tuanya), tidak pula orang yang menyebut-nyebut sedekah (pemberian)nya, dan tidak juga pecandu minuman keras, serta tidak pula orang yang membenarkan sihir." (HR.Nasa'i)

Keburukan Yang Belum Dikerjakan

Rasulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya Allah mengampuni umatku terhadap hal-hal yang terbetik dalam hatinya selagi mereka tidak mengerjakannya, atau membicarakannya. Sesungguhnya Allah mengampuni umatku terhadap hal-hal yang dibisikkan oleh suara hatinya selagi mereka tidak mengerjakannya atau membicarakannya." (HR.Jama'ah)

Keistimewaan lain yang dimiliki umat Nabi Muhammad ialah mendapat ampunan dari Allah tentang hal-hal yang terbetik dalam hati mereka, selama mereka tidak mengerjakannya atau membicarakannya kepada orang lain.

Maksudnya bisikan hati, menyangkut bisikan hati yang bila dikerjakan atau dibicarakan pelakunya mendapat dosa. Demikianlah keistimewaan yang dimiliki oleh umatnya. Dalam hadist lain disebutkan bahwa bila seorang mukmin berniat untuk mengerjakan suatu keburukan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka dituliskan baginya satu pahala penuh karena ia berhasil mengekang hawa nafsunya.

Mencela Kebakhilan

Allah berfirman,
"Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri, yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir." (Al-Hadid: 23-24)

Makna ini diperjelas lagi oleh firman-Nya,
"Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri, (yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir." (An-Nisa: 36-37)

Kebakhilan bisa ditafsirkan dengan bakhil (pelit) dengan waktu, tidak mau memberi, bakhil dengan ilmu pengetahuan dan bakhil terhadap sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain baik dalam urusan agama atau dunia, padahal Allah berfirman,
"Dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (Al-Baqarah: 3), baik rezeki berupa ilmu maupun materi. Dalam hal ilmu, Muadz berkata, "Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah."

Disebutkan dalam sebuah atsar, "Sebaik-baik pemberian dan hadiah adalah ucapan yang baik yang didengar oleh seseorang kemudian mendorongnya untuk memberikan hadiah kepada saudaranya."

Yang dimaksud oleh ayat di atas adalah bahwa Allah membenci orang-orang yang bersikap sombong dan membanggakan diri lagi bakhil. Yang dimaksud dengan bakhil adalah orang yang enggan untuk memberi. Hal tersebut bisa terjadi disebabkan karena ia berbangga dengan diri sendiri dengan tidak bisa dimintai dan tidak mau menerima, atau bisa jadi ia membanggakan diri di depan manusia dengan tidak mau memandang mereka. Inilah yang banyak terjadi dikalangan manusia, ia bakhil dengan pengetahuannya dan merasa berbangga dengan pengetahuan tersebut, dan ia merasa enggan membagikan ilmu tersebut kepada orang lain. Sebaliknya adalah orang yang tawadhu' (merendahkan hati) dalam mencari ilmu dan mengajarkannya, sehingga ia menjadi mulia dengannya.

Sifat Lemah Lembut Rasulullah yang Mesti Diikuti Umatnya

Aisyah ra. berkata,
"Rasulullah saw. tidak pernah sekalipun memukul sesuatu dengan tangannya, tidak pula kepada istrinya, dan tidak pula kepada pembantunya, kecuali pada waktu perang di jalan Allah. Beliau tidak pernah sekalipun disakiti lalu hendak membalas pelakunya, kecuali ketika ketika hukum Allah dilanggar sampai beliau menindak pelakunya karena Allah saw." (HR.Muslim)

Ibnu Mas'ud ra. berkata,
"Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw. bercerita tentang seorang Nabi-nabi as. yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah. Sambil mengusap darah di wajahnya, Nabi tersebut berdoa, 'Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui.'" (Muttafaq 'Alaih)

Dua hadist ini menerangkan kepada kita tentang kemuliaan akhlak Rasulullah saw. yaitu tentang kelemah lembutan, kesabaran dan kasih sayang beliau kepada siapa pun, meskipun ia berbuat salah, selama perbuatan itu sesuatu yang tidak melanggar syariat. Dan kita sebagai umat beliau harus meneladani sifat ini.
Ada sesuatu hadist yang amat mulia, dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat. Sesungguhnya, orang kuat ialah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah." (Muttafaq 'Alaih)

Kedudukan Orang yang Mentaati Allah dan Rasul-Nya {bagian 4}

Kabar yang lebih menggembirakan dari itu semua adalah hadist yang terdapat dalam kitab Shahih, kitab Musnad dan lain-lain dari jalan yang mutawatir dari jama'ah para Sahabat, bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan apa yang ada pada mereka, beliau saw. bersabda:
"Seseorang akan bersama orang yang dicintainya."

Anas berkata: "Tidak ada sesuatu yang menggembirakan kaum Muslimin daripada kegembiraan mereka dengan hadist ini."

Imam Malik bin Anas meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata: "Rasulullah saw. bersabda,
'Sesungguhnya penghuni Surga akan saling melihat penghuni kamar yang berada di atasnya, sebagaimana kalian melihat bintang bersinar terang yang bertebaran di ufuk timur dan barat, karena saling berbeda dalam derajat di antara mereka.'
Mereka bertanya: 'Ya Rasulullah! Itu adalah kedudukan para Nabi, yang tidak dapat dicapai oleh selain mereka.' Beliau saw. bersabda: 'Betul, tapi dapat dicapai oleh yang lain. Demi Rabb yang jiwaku ada di tangan-Nya, mereka yang dapat mencapainya adalah orang-orang yang beriman dan membenarkan para Rasul'." (Muttafaq 'Alaih)

"Yang demikian itu adalah karunia dari Allah." Yaitu dari sisi Allah dengan rahmat-Nya dan Allah-lah yang menjadikan mereka menikmati hal itu dan yang menempatkan mereka di situ, bukan karena amal-amal mereka. "Dan Allah cukup mengetahui." Yaitu, Allah Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapatkan hidayah dan taufiq.

Kedudukan Orang yang Mentaati Allah dan Rasul-Nya {bagian 3}

Inilah makna sabda Rasulullah saw. di dalam hadist yang lain:
"Ya Allah, (aku memilih bersama) ar-rafiiqul a'la."
Beliau saw. mengucapkannya tiga kali, kemudian beliau wafat, atasnyalah shalawat dan salam yang paling utama.

Sebab-sebab turunnya ayat yang mulia ini.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. dan berkata: "Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku mencintaimu, hingga aku selalu mengingatmu di rumah. Cinta itu terasa berat bagiku dan aku sangat senang jika sederajat bersamamu." Nabi saw. tidak menjawab sepatah katapun, lalu Allah menurunkan ayat ini.

Di dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami bahwa ia berkata: "Dahulu aku bermalam di sisi Rasulullah saw, lalu aku menyiapkan air wudhu' dan keperluannya. Beliau berkata padaku: 'Mintalah.' Aku menjawab: 'Ya Rasulullah, aku minta bersamamu di dalam Surga.' Beliau berkata lagi: 'Selain itu.' Aku menjawab: 'Itulah yang aku minta.' Beliau saw. menjawab: 'Bantulah aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud.'

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Sahl bin Mu'adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang membaca seribu ayat di jalan Allah, niscaya Allah akan mencatatnya pada hari Kiamat bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada' dan shalihin. Itulah sebaik-baiknya teman, insya Allah."

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa'id, ia berkata: "Rasulullah saw. bersabda:
'Pedagang yang jujur lagi amanah akan bersama para Nabi, shiddiqin dan syuhada'." (Kemudian dia berkata: "Hadist ini hasan yang kami tidak ketahui kecuali dari jalan ini.")

Kedudukan Orang yang Mentaati Allah dan Rasul-Nya {bagian 2}

Untuk itu Allah berfirman: "Dan sesungguhnya, kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka." Artinya, seandainya mereka melakukan apa yang telah diperintahkan, serta meninggalkan apa yang dilarang. "Niscaya itu lebih baik bagi mereka," daripada melanggar perintah dan melakukan apa yang dilarangan. "Dan lebih menguatkan iman mereka." As-Suddi berkata: "Yaitu lebih kuat pengakuannya", "Dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka." Yaitu, dari sisi Kami "Pahala yang besar." Yaitu Surga. Dan firman-Nya: "Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus," di dunia dan di akhirat. Kemudian Allah berfirman,
"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Para Nabi, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." Artinya, barangsiapa melakukan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menempatkannya di tempat kehormatan-Nya (surga) dan menjadikannya pendamping para Nabi, kemudian orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Yaitu: para shiddiq (orang-orang yang jujur dalam imannya), syuhada' (orang-orang yang mati syahid), lalu kaum Mukminin secara umum, yaitu orang-orang shalih yang baik (benar) pada apa-apa yang tersembunyi dan tampak pada mereka. Kemudian Allah memuji mereka dengan firman-Nya: "Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
"Tidak ada seorang Nabi pun yang menderita sakit, kecuali akan diberi pilihan baginya, dunia atau akhirat.'"

Dan pada sakit menjelang wafatnya, terdengar beliau saw. bersabda:
"Bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu; para Nabi, shiddiqin, syuhada', dan shalihin."
Maka aku tahu, bahwasanya beliau telah diberi pilihan. (Demikian pula Muslim meriwayatkan)

Kedudukan Orang yang Mentaati Allah dan Rasul-Nya {bagian 1}

Allah berfirman,
"Dan sesungguhnya, kalau Kami perintahkan kepada mereka: 'Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu,' niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan para shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui." (An-Nisa': 66-70)

Allah memberitahukan tentang kebanyakan manusia, bahwa mereka seandainya diperintahkan untuk melaksanakan larangan-larangan yang mereka langgar, niscaya mereka pun tidak akan melakukannya. Karena tabi'at buruk mereka terbina untuk menentang perintah. Hal ini merupakan ilmu Allah tentang sesuatu yang belum dan sudah terjadi. Maka bagaimana pula dengan apa yang sudah terjadi? Untuk itu Allah berfirman: "Dan sesungguhnya, kalau Kami perintahkan kepada mereka: 'Bunuhlah dirimu.'"

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Ishaq as-Sabi'i, ia berkata: "Ketika turun ayat: "Dan sesungguhnya, kalau Kami perintahkan kepada mereka: 'Bunuhlah dirimu'," seseorang berkata: 'Seandainya kami diperintah, niscaya kami akan lakukan. Dan segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan afiat kepada kami.' Berita itu pun sampai kepada Nabi saw. lalu beliau bersabda,
'Sesungguhnya dari umatku ada orang-orang yang keimanan di dalam hati mereka lebih mantap (kuat) daripada gunung yang kokoh.'" (HR. Ibnu Abi Hatim)

Keutamaan Berpuasa

Keutamaan Puasa disaksian dan diakui hadist-hadist berikut:
Rasulullah saw. bersabda,
"Puasa adalah perisai dari neraka, seperti perisai salah seorang dari kalian dari perang." (HR.Ahmad)

Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah menjauhkan wajahnya dari neraka sejak hari tersebut selama 70 tahun." (Muttafaq 'alaih)

Rasulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya orang yang berpuasa mempunyai doa yang tidak ditolak ketika ia berbuka puasa." (HR.Ibnu Majah)

Rasulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya di surga terdapat pintu yang bernama ar-Rayyan orang-orang yang berpuasa masuk daripadanya pada hari kiamat dan seorang pun selain mereka tidak masuk daripadanya. Dikatakan, 'Mana orang-orang yang berpuasa?' Mereka pun berdiri dan tidak ada seorang dari selain mereka yang masuk daripadanya. Jika orang-orang yang berpuasa telah masuk, pintu tersebut ditutup hingga tidak ada seorang pun selain mereka yang bisa masuk." (Muttafaq 'alaih)

Total Pengunjung

Powered by Blogger.

Pencarian