Website Baru Kami, Klik Gambar

Website Baru Kami, Klik Gambar
Kajian Ilmu Agama Islam

Wajibnya Bermadzhab (Tinggalkan Wahabi Agar Selamat Dunia Akhirat)

Pada sa’at ini semakin banyak orang yang merasa mereka lebih hebat dibandingkan ulama ulama dahulu. Mereka mencoba menebarkan slogan untuk tidak bermadzhab, tetapi mengambil hukum dari al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Slogan (semboyan = perkataan) berhukum al-Qur’an dan hadits benar tetapi memiliki tujuan yang salah, dan akan menghasilkan kesalahan yang besar. Adapun diantara dalil-dalil yang diucapkan oleh mereka yang anti madzhab ialah:

1 – Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab, bahkan memerintahkan kita mengikuti sunnahnya.

2 – al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi dalil dan hukum sehingga tidak di perlukan lagi Madzhab-madzhab.

3 – Madzhab-madzhab itu bid`ah karena tidak ada pada zaman Rasul.

4 – Seluruh ulama Madzhab seperti Imam Syafi`i melarang orang-orang mengikuti mereka dalam hukum.

5 – Bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti telah menolak sunnah Nabi Muhammad SAW.

6 – Pada Zaman sekarang sudah semestinya kita berijtihad, karena dihadapan kita telah banyak kitab-kitab hadits, Fiqih, ulumul Hadits dan lain-lain, kesemuanya itu mudah didapati.

7 – Para Ulama Madzhab adalah manusia biasa, bukan seorang nabi yang ma’shum dari kesalahan, semestinya kita berpegang kepada yang tidak ma’shum yaitu hadits-hadits Rasulullah.

8 – Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, tidak boleh menyalahinya dengan mengikuti pendapat ulama madzhab.

Ini sebahagian hujjah-hujjah mereka, kita akan jawab satu persatu insyaAllah.

Masalah pertama

1 Rasulullah tidak pernah memerintahkan kita untuk bermadzhab. Dari maknanya, tidak ada perintah untuk bermazhhab secara khusus, akan tetapi, bermazhab diperintahkan secara umum.

Perintah umum tersebut terdapat didalam al-Qur`an dan Hadits Rasul , demikian juga disana tidak terdapat larangan untuk bermazhab dari Rasulullah. Dengan demikian tidak boleh kita buang dalil umum yang menyuruh untuk bermadzhab. Bahkan sebagian dalil dan hujjah-hujjah menjurus kepada kekhususan mengikuti ulama-ulama yang telah sampai derajat Ijtihad.

Berikut ini saya aka uraikan beberapa dalil tentang bermadzhab:

1 – Allah Berfirman :

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya : Hendaklah bertanya kepada orang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.

Penjelasan ayat : ayat ini memerintahkan orang-orang awam yang tidak mengetahui sesuatu, atau belum mencapai derajat mujtahid untuk bertanya kepada orang alim atau orang yang telah sampai derajat Mujtahid. Hal ini bermakna orang yang tidak sampai derajat mujtahid diharuskan mengikuti mazhab-madzhab yang di i’tiraf (diakui) oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.

Siapa yang merasa tidak memiliki ilmu maka dia wajib bertaqlid kepada ulama, sebab Allah tidak mengatakan , jikalau kau tidak mengetahui maka hendaklah lihat didalam al-Qur`an dan Hadits. Karena al-Qur`an dan al-Hadits memiliki pemahaman yang hanya ulama yang mujtahid saja yang memahaminya. Karena itulah Allah memerintahkan untuk bertanya kepada Ulama mujtahid akan arti dan pemahaman dari al-Qur`an dan al-Hadits.

2 – Rasulullah SAW bersabda :

عن عبد الله بن عمرو بن العاصي قال ” سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالم اتخذ الناس رؤسا جهالا، فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. ( رواه البخاري و مسلم والترمذي وابن ماجه ولا أحمد والدارمي ).

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari hati hamba-hambanya ( ulama ) akan tetapi mengambil ilmu dengan mencabut nyawa ulama, sehingga apabila tidak terdapat ulama, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh ( menjadi pegangan mereka ), mereka bertanya hukum kepadanya, kemudian orang-orang bodoh itu berfatwa menjawab pertanyakkan mereka, jadilah mereka sesat dan menyesatkan pula. ( H.R Bukhari, Muslim , Tirmidzi , Ibnu Majah. Ahmad, ad-Darimi).

Penjelasan hadits : Hadits ini menunjukkkan kepada kita semakin sedikitnya ulama pada masa sekarang. Siapa yang mengatakan semangkin banyak maka dia telah menyalahi hadits Nabi yang shahih dan kenyataan yang ada. Sebab Allah mencabut nyawa ulama, dan tidak ada pengganti yang dapat menandingi keilmuannnya. Siapa yang dapat menandingi keilmuan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`I, Imam Ahmad pada zaman sekarang? Tidak ada yang mampu. Mereka telah wafat dan meninggalkan warisan yang sangat besar , yaitu ilmu dan madzhab-mazhab mereka.

Jadi orang -orang awam yang mengambil warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang empat. Dengan begitu, jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang. Tetapi orang bodoh yang tidak mau bermadzhab akan menanyakan permasalahannya kepada orang yang berlagak alim dan mujtahid tetapi bodoh, tolol dan sok tahu, maka dia berfatwa menurut hawa nafsunya dan perutnya dalam memahami hadits dan lainnya. Orang ini sangat membahayakan dan menyesatkan umat Islam. Mereka tidak menyadari kesesatan mereka dan berusaha untuk menyebarkan pemahaman mereka, inilah ciri-ciri kebodohannya.

Dari hadits ini kita perlu bertanya, mengapa Rasul mengatakan,”mereka bertanya kepada orang-orang bodoh”. Penyebab mereka mengambil ilmu kepada orang yang bodoh ialah karena orang alim sudah tiada lagi. Padahal kitab-kitab hadits semangkin banyak dicetak, kitab-kitab ilmu semangkin menyebar di kalangan masyarakat. Penulis melihat ada beberapa sebab :

1 – Pentingnya ulama madzhab dalam menuntun pemahaman yang ada dari al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga apabila ulama meninggal dunia, tiada lagi orang yang mampu mengajarkan pemahaman yang sebenarnya dari al-Qur`an dan al-Hadits.

2 –Orang-orang yang sesat menolak untuk mengikuti madzhab-madzhab yang telah tertulis dan dibukukan, sehingga mereka lebih memilih orang yang berlagak lebih tahu dalam memahami al-Qur`an dan al-Hadits dibandingkan ulama-ulama terdahulu.

3 – Orang yang paling bodoh ialah yang tidak mengetahui bahwa dia bodoh, sehingga dia berfatwa walaupun dalam keadaan bodoh, tidak ingin melihat kembali apa kata ulama-ulama madzhab di dalam kitab mereka.

4 – Salah satu tanda hari kiamat adalah madzhab bodoh lebih berkembang dan menyesatkan orang yang bermadzhabkan empat madzhab.

5 – Dari hadits diatas juga kita fahami bahwa pada zamansekarang sangat sulit kita dapati ulama yang kedudukannya sampai kepada ulama mujtahid. Apabila kita menyalahi hal ini, kemungkinan kita telah mengingkari hadits Rasul yang menceritakan tentang ilmu akan dicabut dari permukaan bumi ini dengan wafatnya ulama. Pada abad pertama hijriyah, puluhan , bahkan ratusan orang sampai kepada derajat al-Hafizh dan mujtahid, demikian juga pada abad kedua, ketiga, dan keempat. Tetapi setelah itu, ulama-ulama semakin berkurang, apalagi pada zaman kita sekarang. Jadi apa yang dikatakan Rasul telah terjadi pada masa kini.

Kita dapat melihat, betapa banyak orang yang mengaku alim dan berfatwa, padahal dia tidak memiliki standar dalam berfatwa. Orang-orang ini bermuka tebal, seperti tembok China.

3 – Rasulullah bersabda :

لا تسبوا قريشا فإن عالمها يملأ الأرض علما

Artinya : Janganlah kamu menghina orang-orang Quraisy, karena seorang ulama dari kalangan bangsa Quraisy, ilmunya akan memenuhi penjuru bumi ini .

( H,R Baihaqi didalam al-Manaqib Syafi`i, Abu Naim didalam al-Hilyah, Musnad Abu Daud ath-Thayalisi ).

Para ulama menta’wilkan maksud hadits tersebut kepada Imam Syafi`i al-Quraisyi yang telah menebarkan ilmu dan madzhabnya dibumi ini. Diantara ulama yang mengungkapkan hal itu ialah Imam Ahmad Bin Hanbal, Imam Abu Nuaim al-Ashbahani, Imam Baihaqi.

Dan maksud ilmu pada hadits tersebut adalah madzhab dan pemahamannya terhadap al-Quran dan sunnah, sebab pemahaman terhadap al-Qur`an dan sunnah itulah yang disebut ilmu. Ilmu itu adalah madzhab jika ilmu tersebut diikuti orang lain. Dengan demikian, madzhab adalah salah satu pemahaman al-Qur`an dan hadits yang diikuti oleh orang lain.

Masalah kedua

2 – Pendapat Saudara yang mengatakan bahwa Al-Qur`an dan Sunnah sudah cukup menjadi sumber hukum adalah ungkapan seorang Mujtahid, yang telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Jika Saudara berkata demikian juga, berarti Saudara sudah menjadi mujtahid, dan sudah memiliki syarat-syarat ijtihad. Akan tetapi jika Akan tetapi jika tidak, maka saya sarankanagar Saudara mundur kebelakang, atau membeli cermin ( kaca ) agar dapat bercermin siapa diri anda, dan sampai mana keilmuan anda. Apabila cermin juga tidak mampu menunjukkan hakikat diri anda sendiri dalam keilmuan, maka hendaklah bercermin dengan ulama-ulama ahlus sunnah wal jama`ah, karena cermin yang ada dirumah harganya murah atau sudah pecah. jika tidak tergambar juga hakikat diri anda dihadapan orang lain, maka syaithan telah memperdayakan anda. Ingatlah, menjadi mujtahid itu amat berat, dan memiliki syarat-syarat yang sulit.

Rasul bersabda :

رحم الله امرءا عرف قدره

Artinya : Allah menyayangi seseorang yang mengetahui batas kemampuannya.

Kalau anda sadar akan batas keilmuan dan kemampuan anda, tentu anda akan mengikuti madzhab yang empat. Tetapi sayang, anda tidak melihat kelemahan dan kebodohan anda sendiri.

Perlu anda ketahui jika anda belum sampai kepada tahap Mujtahid, jika ingin mengambil langsung dari al-Qur`an dan Sunnah, apakah anda telah mengahapal al-Qur`an keseluruhannya? Atau paling sedikit ayat-ayat Ahkam, dan telah mengetahui maksud ayat-ayat tersebut, sebab-sebab turunnya ayat, apakah ayat tersebut tergolong Nasikh atau Mansukh, apakah ayat tersebut Muqayyad atau Muthalaq, atau ayat itu Mujmal atau Mubayyan, atau ayat tersebut `Am atau Khusus, kedudukan setiap kalimat didalam ayat dari segi Nahwu dan `Irabnya, Balaghahnya, bayannya, dari segi penggunanaan kalimat Arab secara `Uruf dan hakikatnya, atau majaznya, kemudian adakah terdapat didalam hadits yang mengkhususkan ayat tersebut, ini masih sebagian yang perlu anda ketahui dari al-Qur`an.

Sementara dalam Hadits, anda mesti menghapal seluruh hadits-hadits Ahkam, kemudian mengetahui sebab-sebab terjadinya hadits tersebut, mana yang mansukh dan mana yang Nasikh, mana yang Muqayyad dan mana yang Muthlaq, mana yang mujmal dan mubayyan, mana yang `Am dan Khas, dan mesti mengetahui bahasa arab dengan sedalam-dalamnya, agar tidak menyalahi Qaidah-Qaidah dalam bahasa. Hal ini meliputi Nahwu, Balaghah, bayan, ilmu usul Lughah.

Anda juga mesti mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu, sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma` ulama, dan mengetahui shahih atau tidaknya hadits yang akan digunakan. Hal ini meliputi pengetahuan tentang sanad, Jarah dan Ta`dil, Tarikh islami dan ilmu musthalah hadits secara umum dan mendalam, sebab tidak semua hadits shahih dapat dijadikan hujjah secara langsung, karena mungkin saja telah dimansukhkan, atau hadits tersebut umum dan adalagi hadits yang khusus, maka mesti mendahulukan yang khusus. Hal ini akan saya jelaskan insya Allah dalam pembahasan yang khusus.

Pertanyaannya adalah, sudahkan anda memiliki syarat yang telah kami sebutkankan, kalau sudah silahkan anda berijtihad sendiri, kalau belum jangan mempermalukan diri sendiri. Kebodohan yang paling bodoh adalah tidak mengakui diri bodoh, sehingga tidak mau belajar dari kebodohannya.

Masalah ketiga

3 – Pendapat anda yang mengatakan bermadzhab itu suatu yang bid’ah karena tidak terdapat pada zaman Rasul. Penulis mengira anda belum memahami kata-kata Bid`ah dengan sebenarnya. Tetapi, masalah ini insyaAllah akan kami akan buatkan sebuah pembhasan khusus.

Madzhab memang tidak ada pada zaman Nabi, karena para sahabat berada bersama nabi. Apabila ada permasalahan, maka mereka akan bertanya langsung kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, mulailah muncul madzhab-madzah di kalangan sahabat. Dan yang terkenal di antaraanya adalah madzhab Abu Bakar, madzhab Umar, Utsman, Ali, Abdullah Bin Umar, Sayyidah `Aiysah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Mas`ud, dll.

Demikian juga pada masa Tabi`in. Madzhab-madzhab telah bermunculan ketika itu, seperti madzhab Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Salim Bin Abdallah, Urwah Bin Zubair, dll. Imam Abu Hanifah juga tergolong Tabi`in yang memiliki Madzhab yang diikuti, begitu pula Imam Malik. maka jelaslah bahwa mengikuti madzhab yang ada dan diakui oleh ulama bukan hal yang bid`ah, jikalau hal tersebut bid`ah, niscaya para sahabat termasuk ahli bid`ah.

Masalah keempat

4 – Larangan ulama Madzhab kepada murid-muridnya agar jangan mengikuti mereka adalah hal yang tidak benar, sebab seluruh perkataan ulama Madzhab telah dirubah pemahamannya oleh orang tertentu. mari kita lihat sebagian kata-kata Imam Syafi`i` dan kisah Imam Malik.

A – Kisah Imam Malik berserta Khalifah Abu Ja`far al-Manshuri.

Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Waqidi, beliau berkata : Aku mendengar Malik Bin Anas berkata : ” ketika Abu Ja`far al-Manshur melaksanakan hajji, beliau memanggilku, maka aku bertemu dan bercerita dengannya, beliau bertanya kepadaku dan aku menjawabnya, kemudian Abu Ja`far berkata : ” Aku bermaksud untuk menulis kembali kitab yang telah kamu karang yaitu Muwaththa`, kemudian aku akan kirim keseluruh penjuru negeri islam, dan aku suruh mereka mengamalkan apa yang terkandung didalamnya, dan tidak mengamalkan yang lainnya. Dan meninggalkan semua ilmu-ilmu yang baru selain ” Muwaththa`, karena Aku melihat sumber ilmu adalah riwayat ahli Madinah dan ilmu mereka. Dan aku pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Janganlah kamu buat seperti itu, karena orang-orang sudah memiliki pendapat sendiri, dan telah mendengarkan hadits Rasul, dan mereka telah meriwayatkan hadits-hadits yang ada, dan setiap kaum telah mengambil dan mengamalkan apa telah diamalkan pendahulunya, dari perbedaan pendapat para shahabat dan selain mereka, jika menolak apa yang mereka percayakan itu sangat berbahaya, biarlah mereka mengamalkan apa yang telah mereka amalkan dan mereka pilih untuk mereka”, berkata Abu J`afar: “Kalaulah engkau suruh aku untuk membuat seperti itu niscaya aku akan laksanakan.”

Dalam riwayat yang lain Imam Malik berkata : Wahai Amirul Mukminin Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW telah berpencar diberbagai negeri, orang-orang telah mengikuti madzhab mereka, maka setiap golongan berpendapat mengikuti madzhab orang yang diikuti. ( al-Intiqa : 41 , Imam Darul Hijrah Malik Bin Anas : 78 ).

Lihat bagaimana Imam Malik menjawab permintaan Khalifah Abu Ja`far. Beliau tidak melarang orang-orang untuk bertaqlid pada Madzhab yang mereka akui. Sebab pada masa itu madzhab fiqih sangat berkembang sekali. Seperti di Iraq madzhab Imam Abu Hanifah, Di Syam berkembang Madzhab Imam Auza`i, di Mesir berkembang madzhab Imam Laits Ibnu Sa`ad, dan masih banyak lagi madzhab-madzhab yang berkembang saat itu. Bahkan beliau menyarankan kepada Khalifah agar mereka dibenarkan untuk mengikuti madzhabnya masing-masing.

B – Perkataan Imam Syafi`i :

المزني ناصر مذهبي

Artinya : Al-Muzani itu adalah penolong ( dalam menyebarkan ) madzhabku

( Lihat Siyar `Alam an-nubala` li adz-Dzahabi : 12/493, Thabqatu Syafi`iyah al-Kubra Li as-Subki : 1/323, terbitan Dar kutub ilmiyah ).

Dari perkataan Imam Syafi`i diatas sangat jelas sekali bahwa beliau tidak melarang seorangpun untuk mengikuti madzhabnya, bahkan beliau mengatakan kepada murid-muridnya bahwa al-Muzani adalah seorang penolong dan penyebar madzhab Syafi`i. Apabila beliau melarang untuk mengikuti madzhabnya tentu beliau tidak mengatakan perkataan tersebut.

Diriwayatkan Imam al-Khatib didalam karangannya ” al-Faqih wa al-Mutafaqih ( 2 / 15 -19 ) ” cerita yang sangat panjang sekali tentang Imam al-Muzani seorang pewaris ilmu Imam Syafi`i, didalam akhirnya beliau mengungkapkan perkataan al-Muzani : ” Lihatlah apa yang kau tulis dari apa yanh ku ajarkan, tuntutlah ilmu dari seorang yang Faqih, maka kamu akan menjadi Faqih “.

Dari perkataan Imam al-Muzani yang memerintahkan muridnya untuk melihat apa yang beliau sampaikan, beliau tidak memerintahkan mereka untuk melihat kepada Hadits, karena hadits tidak boleh difahami dengan sebenarnya hukum yang terdapat didalamnya kecuali oleh seorang yang Faqih. Dan memerintahkan mereka untuk menuntut ilmu kepada seorang yang Faqih bukan hanya untuk mengetahui hadits semata, sebab puncak ilmu hadits adalah Fiqih. Apabila bermadzhab itu dilarang, tentu Imam al-Muzani akan melarang muridnya untuk mengikuti apa yang beliau ajarkan, melainkan memerintahkan mereka mengambil hukum secara langsung dari al-Qur`an.

Masalah kelima

5 – Pendapat yang mengatakan bahwa bermadzhab dengan madzhab tertentu berarti menolak Sunnah Rasulullah adalah pendapat yang tidak benar dan tidak berasas. Sebab seluruh ulama Mujtahid sangat berpegang teguh dalam mengamalkan sunnah Nabi SAW, mereka telah menjadikan al-Hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur`an, dan kedudukan al-Hadits sangat tinggi dalam pandangan mereka.

Sebagian orang salah memahami perkataan Imam-imam Mujtahid seperti Imam Syafi`i dalam perkataanbeliau :

إذا وجدتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم على خلاف قولي فخذوا به ودعوا ما قلت

Artinya : Apabila kamu dapati perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah SAW maka tinggalkanlah perkataanku dan ambillah Hadits Rasul..

Perlu kita ketahui pemahaman yang mengatakan bahwa Imam Syafi`i melarang mengikuti pendapatnya adalah pemahaman yang salah, karena ungkapan Imam Syafi`i tersebut memiliki pemahaman sebagai berikut .

A – Kamu boleh mengikuti pendapatku selama pendapatku tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah.

B – Perkataan ini menunjukkan betapa besarnya kedudukkan Hadits Nabi SAW dalam pandangan Imam Syafi`i.

C – Karena begitu besarnya kedudukan Hadits di hadapan Imam Syafi`i sehingga beliau menjadikan al-Hadits adalah sumber kedua didalam madzhabnya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan mungkin mendahulukan pendapatnya dari pada Hadits Rasul, kecuali apabila hadits tersebut tidak dianggap shahih dan memiliki beberapa sebab sehingga tidak boleh mengamalkannya, sebab tidak seluruh Hadits shahih boleh diamalkan.

D – Imam Syafi` hanya berpegang dengan hadits yang shahih menurut pandangannya, bukan hadits mansukh, atau hadits yang memiliki permasalahan dan `illat, karena beliau adalah seorang ahli hadits yang masyhur.

Masalah keenam

6 – Adapun ungkapan saudara yang mengatakan pada zaman sekarang ini sebenarnya semakin mudah untuk menjadi mujtahid karena banyaknya buku yang dicetak, berbeda dengan zaman dahulu, adalah ini tidak benar, bahkan menyalahi kenyataan yang ada. Coba kita lihat penyebab mengapa pada zaman ini sukar untuk menjumpai seorang mujtahid.

A – Tidak keseluruhan kitab telah dicetak dan disajikan kepada kita. Terbukti masih banyak lagi kitab ulama-ulama muslim yang tersebar dalam bentuk Makhthuthath ( Munuskrip ) di negeri Erofah, Mesir, Turki, Saudi Arabiyah, Pakistan, Hindia dan lain-lain.

B – Banyaknya kitab-kitab hadits yang hilang dan tidak ditemui pada saat sekarang ini disebabkan berbagai kejadian, seperti pembakaran kitab-kitab pada masa Monggolia menyerang Baghdad dan membakar seluruh kitab-kitab Islam, penghancuran Negeri Islam di Andalusia, dan lain-lain. Maka bisa saja hal ini boleh kita ketahui jika kita mentakhrij hadits, dan ingin melihat dari sumber aslinya, tetapi tidak diketemukan.

C – Pada zaman sekarang orang belajar ilmu menurut bidangnya masing-masing. Pelajar yang di Kuliah Syari`ah tidak mempelajari ilmu musthalah hadits secara mendalam, pelajar yang Kuliah Usuluddin tidak mempelajari Usul Fiqih dan Fiqih secara mendalam, pelajar Lughah bahkan sangat sedikit sekali mempelajari bidang ilmu fiqih dan hadits, dari cara belajar seperti ini bagaimana akan menjadi mujtahid?

D – Tidak adanya (langka) pada zaman sekarang orang dapat digelar al-Hafizh. Ini membuktikan betapa buruknya prestasi kita dalam bidang hadits dibandingkan dengan zaman-zaman sebelum kita. Bagaimana mau menjadi mujtahid hadits pun tidak hapal? Kalaulah dalam ilmu hadits saja kita belum mampu menjadi al-Hafizh bagaimana pula ingin menjadi al-Mujtahid?

e – Tetapi yang sangat lucunya yang ingin jadi mujtahid itu sekarang terdiri dari pelajar-pelajar kedoktoran,insinyur, mekanik, yang bukan belajar khusus tentang agama. Kalau pelajar agama saja tidak sampai kepada mujtahid bagaimana lagi dengan pelajar yang bukan khusus mempelajari agama? Kalau pun jadi mujtahid pasti mujtahid gadungan ( penipuan ).

Cobalah renungkan cerita Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya al-Muswaddah : 516, dan diungkapkan oleh muridnya Ibnu Qayyim. Dari Imam Ahmad, ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Ahmad: “Apabila seseorang telah menghapal hadits sebanyak seratus ribu hadits, apakah dia sudah dikira (dianggap) Faqih?” Imam Ahmad menjawab: “Tidak dikira (dianggap) Faqih,” berkata lelaki tersebut : ” jika dia hapal dua ratus ribu hadits ? “, Imam Ahmad menjawab : ” tidak disebut Faqih “, berkata lelaki tersebut : ” jika dia telah menghapal tiga ribu hadits ?”, Imam Ahmad menjawab : ” tidak juga dikira Faqih”, berkata lelaki tersebut : ” Jika dia telah menghapal empat ratus ribu hadits?” Imam Ahmad menjawab secara isyarat dengan tangannya dan mengerakkannya, maksudnya, mungkin juga disebut Faqih berfatwa kepada orang dengan ijtihadnya.

Cobalah renungkan dimana kedudukan kita dari Faqih dan al-Mujtahid, agar tahu kelemahan kita dan kebodohan kita.

E – Memang ada kitab-kitab yang dapat membantu kita agar dapat berijtihad. Tetapi yang jadi permasalahannya, apakah kita mampu benar-benar memahami apa yang kita baca? Apakah yang kita fahami sesuai dengan pemahaman ulama-ulama pada masa salafussalihin? Sebab membaca hadits dengan sendirian tanpa bimbingan seorang guru akan membawa kepada kesesatan, sebagaimana pesan ulama-ulama agar mengambil ilmu dari mulutnya ulama yang ahli.

خذوا العلم من أفواه العلماء

Artinya : Ambillah ilmu itu dari mulutnya para ulama.

Berkata Imam Ibnu Wahab seorang murid Imam Malik yang alim dalam ilmu Hadits:

الحديث مضلة إلا للعلماء

Artinya : al-Hadits dapat menyesatkan seseorang ( yang membacanya ) kecuali bagi para ulama

Berkata Imam Sufyan Bin Uyainah ( seorang ulama besar yang ahli dalam fiqih dan hadits guru Imam Syafi`i ) :

الحديث مَضِلّة إلا للفقهاء

Artinya : al-Hadits itu dapat menyesatkan seseorang kecuali bagi ulama yang faqih. ( al-Jami` li Ibni Abi Zaid al-Qairuwani : 118 )

Masalah ketujuh

7 – Apa yang saudara ungkapkan bahwa ulama mujtahid adalah manusia biasa yang mungkin saja salah dalam perbutan atau pemahaman adalah benar, tetapi sangat salah sekali jika saudara menyangka bahwa mereka yang berijtihad tidak boleh diikuti karena mereka manusia biasa. Yang sangat jelasnya, mereka bukan nabi, dan juga bukan bertarap seperti anda, tidak ada seorang ulama yang hidup sekarang ini yang mampu menandingi ilmunya Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad.

Berkata Imam adz-Dzahabi mengungkapkan didalam kitabnya at-Tadzkirah : 627-628 , diakhir ceritanya dari generasi muhaddits yang kesembilan diantara tahun 258 H – 282 H, beliau berkata : “Wahai syeikh lemah lembutlah pada dirimu, senantiasalah bersikap adil, janganlah memandang mereka dengan penghinaan, jangan kamu menyangka muhaddits pada masa mereka itu sama dengan muhaddits pada masa kita ( maksudnya dari masa 673 H – 748 H ), sama sekali tidak sama. Tidak ada seorang pun pembesar Muhaddits pada masa kita yang sampai kedudukkannya seperti mereka didalam keilmuan.”

Dari ungkapan Imam adz-Dzahabi diatas memberikan pengertian bahwa ilmu kita memang tidak setarap dengan para ulama-ulama mujtahid pada zaman dahulu. Jadi jikalau mereka berijihad ternyata salah di dalam ijtihadnya, maka mereka akan mendapat satu pahala dan tidak mendapat dosa. Bagaimana dengan anda yang tidak sampai kepada derajat ijtihad kemudian berijtihad menurut kemampuan anda? Maka kesalahan anda akan lebih banyak dibandingkan dengan ulama-ulama mujtahid yang terdahulu.

Dengan begitu seseorang yang memang sudah sampai kepada derajat mujtahid, apabila benar ijtihadnya maka akan mendapatkan dua pahala. Jika salah dalam berijtihad maka mendapat satu pahala saja. Tetapi jika anda yang belum sampai kepada tahap mujtahid berijtihad dan tersalah dalam ijtihadnya, maka anda akan mendapatkan dosa, karena berijtihad dengan kebodohan.

Masalah kedelapan

8 – Adapun ungkapan anda tentang hadits yang Shahih wajib diamalkan secara langsung adalah salah satu kesalahan. Sebab tidak semua hadits yang shahih dapat diamalkan secara lansung, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki `illat yang sangat samar sekali. Kemungkinan hadits shahih tersebut dimansukhkan, atau haditsnya muthlaq kemudian dimuqayyadkan dan lain-lain. Penulis ( insyaallah ) akan membahas permasalahan ini secara khusus .

Pada zaman sekarang ini telah banyak kita lihat golongan yang anti dan berusaha untuk menyerang dan membasmi madzhab-mahzhab yang masyhur. Dengan alasan (jargon) kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan sunnah bukan berpegang teguh dengan madzhab. Tidak pernah kita dapati di dalam al-Qur`an atau di dalam hadits Rasulullah untuk menyuruh kita bermadzhab. Bahkan para pendiri madzhab sendiri pun melarang mengikuti jejak mereka, demikian kata mereka.

Hal ini sangat aneh sekali, mereka mati-matian mengajak orang agar meninggalkan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Ahmad, tetapi mereka juga sengaja menarik orang untuk mengikuti pemikiran dan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Apakah mereka tidak tahu bahawa mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah juga disebut mengikuti madzhab? Atau mungkin mereka terlupa, juga mungkin karena ta’asub yang berlebih-lebihan terhadap Ibnu Taimiyah? Atau juga mungkin hasad dan dengki dengan pendiri para Madzhab? Kalau tidak sebab-sebab itu niscaya mereka tidak akan keberatan terhadap seseorang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, atau Syafi`i.

Kenyataan ini telah kita lihat sendiri, jikalau kita kata Ibnu Taimiyah saja yang berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah, maka maknanya madzhab-madzhab yang lain tidak benar. Sebab menurut pandangan mereka ( orang yang tidak bermazhab atau golongan Wahabi ) bahwa Taimiayah yang benar. Disini mereka terlupa bahwa Ibnu Taimiyah seorang manusia bukan seorang nabi yang tidak berdosa. Wajarkah kita larang seseorang bermadzhab, sementara kita sendiri mengikuti madzhab seseorang? Jikalau kita sebutkan seperti ini maka mereka tidak akan mengaku dengan sebenarnya. Bahkan mencoba untuk memutar balikkan Fakta, dengan ucapan kita mesti berpegang teguh dengan al-Qur`an dan Sunnah.

Tetapi yang menjadi pertanyaan dibenak hati saya adalah apakah pendiri-pendiri Mazhab tidak mengikuti al-Qur`an dan al-Sunnah? Tentu mereka menjawab ” Sudah tentu para pendiri madzhab mengikut al-Qur`an dan as-Sunnah tetapi mereka manusia yang mungkin memiliki kesalahan”. Jadi menurut mereka ( para anti mazhab ) karena adanya kesalahan pada ulama mujtahid maka mereka sendiri mengambil al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. Ini akan membuktikan mereka tidak akan tersalah dalam menentukkan hukum dalam berijtihad? Jikalau sekiranya mereka sadar diri dengan kemampuan meraka niscaya mereka akan berpegang teguh dengan mana-mana mazhab yang empat.

Pada kesempatan ini saya hanya mencoba untuk memaparkan beberapa dalil yang menjadi pegangan masyarakat awam dalam mengikuti madzhab yang empat, beserta makna dan tujuan ” Madzhab ” dan bila timbulnya madzhab. Dalam kesempatan lain insyaallah saya akan ketengahkan segala dalil-dali yang membatalkan anggapan-anggapan bahwa mengikuti mazhab adalah bid`ah.



Pengertian Madzhab

Kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumberkan dari kalimat Dzahaba, kemudian diobah kepada isim maf`ul yang berarti, Sesuatu yang dipegang dan diikuti. Dalam makna lain mana-mana pendapat yang dipegang dan diikuti disebut madzhab. Dengan begitu madzhab adalah suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah, mungkin lebih kita kenal lagi dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan `Aqidah, Tashawuf, Nahu, Shorof, dan lain-lain. Di dalam Fiqih kita dapati berbagai macam madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi`i. Di dalam ‘Aqidah kita dapati madzhab `Asya`irah, Maturidiyah, Muktazilah, Syi`ah. Di dalam Tashawuf kita dapati madzhab Hasan al-Bashri, Rabi`atu adawiyah, Ghazaliyah,Naqsabandiyah, Tijaniyah, dll. Di dalam Nahu kita dapati madzhab al-Kufiyah dan madzhab al-Bashriyah.

Tumbuhnya Madzhab Fiqih

Pada zaman Rasulullah SAW ”madzhab” belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat. Jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat Islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul.

Tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal di kalangan para sahabat yang berfatwa di tengah sahabat-sahabat Rasul lainnya. Sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Sayyidah `Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas`ud dan yang lainnya. Kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda. Sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang `Alim diantara mereka.

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

Artinya : Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.

Pada zaman Tabi`in timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab`ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah madzhab yang lainnya di negeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha`i, asy-Syu`bi, dan masih banyak lagi. Sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti karena beberapa sebab :

1 – Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.

2 – Madzhab ini di turunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang .

3 – Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan .

4 – Madzhab ini berdasarkan al-Qur`an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan .

5 – Ijma`nya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut.

‘Ibnu Taimiyah Membungkam Wahhabi

Ibnu Taimiyah Membungkam Wahhabi

(Dengan Lampiran Scan Kitab Nya)

Ibnu Taimiyah Membungkam Wahhabi

Belakangan ini kata ‘salaf’ semakin populer. Bermunculan pula kelompok yang mengusung nama salaf, salafi, salafuna, salaf shaleh dan derivatnya. Beberapa kelompok yang sebenarnya berbeda prinsip saling mengklaim bahwa dialah yang paling sempurna mengikuti jalan salaf. Runyamnya jika ternyata kelompok tersebut berbeda dengan generasi pendahulunya dalam banyak hal. Kenyataan ini tak jarang membuat umat islam bingung, terutama mereka yang masih awam. Lalu siapa pengikut salaf sebenarnya? Apakah kelompok yang konsisten menapak jejak salaf ataukah kelompok yang hanya menggunakan nama salafi?.

Tulisan ini mencoba menjawab kebingungan di atas dan menguak siapa pengikut salaf sebenarnya. Istilah salafi berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu. Menurut ahlussunnah yang dimaksud salaf adalah para ulama’ empat madzhab dan ulama sebelumnya yang kapasitas ilmu dan amalnya tidak diragukan lagi dan mempunyai sanad (mata rantai keilmuan) sampai pada Nabi SAW. Namun belakangan muncul sekelompok orang yang melabeli diri dengan

nama salafi dan aktif memakai nama tersebut pada buku-bukunya.

Kelompok yang berslogan “kembali” pada Al Qur’an dan sunnah tersebut mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa Nabi SAW, tanpa harus melewati para ulama empat madzhab. Bahkan menurut sebagian mereka, diharamkan mengikuti madzhab tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu majalah di Arab Saudi, dia juga menyatakan tidak mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan besar di kalangan umat islamyang berpikir obyektif. Sebab dalam catatan sejarah, ulama-ulama besar pendahulu mereka adalah penganut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sebut saja Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Qatadah, kemudian juga menyusul setelahnya Al Zarkasyi, Mura’i, Ibnu Yusuf, Ibnu Habirah, Al Hajjawiy, Al Mardaway, Al Ba’ly, Al Buhti dan Ibnu Muflih. Serta yang terakhir Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta anak-anaknya, juga mufti Muhammad bin Ibrahim, dan Ibnu Hamid. Semoga rahmat Allah atas mereka semua.

Ironis sekali memang, apakah berarti Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam lainnya tidak berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah? Sehingga kelompok ini tidak perlu mengikuti para pendahulunya dalam bermadzhab?. Apabila mereka sudah mengesampingkan kewajiban bermadzhab dan tidak mengikuti para salafnya, layakkah mereka menyatakan dirinya salafy?

Aksi Manipulasi Mereka Terhadap Ilmu Pengetahuan

Belum lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama’ salaf. Sebagai contoh, kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda, Riyadh, 1409 H, yang ditahqiq oleh Abdul Qadir Asy Syami. Pada halaman 295, pasal tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya menjadi pasal tentang ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di awal dan akhir pasal itu juga dihapus. Tak cukup itu, mereka juga dengan sengaja menghilangkan kisah tentang Al Utbiy yang diceritakan Imam Nawawi dalam kitab tersebut. Untuk diketahui, Al Utbiy (guru Imam Syafi’i) pernah menyaksikan seorang arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi SAW.

Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, dalam mimpinya Nabi menyuruh memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni Allah berkat ziarah dan tawassulnya. Imam Nawawi juga menceritakan kisah ini dalam kitab Majmu’ dan Mughni.

Pemalsuan juga mereka lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas Tafsir Jalalain dengan membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan pandangannya. Hal itu mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibn Abidin dalam madzhab Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang menceritakan para wali, abdal dan orang-orang sholeh.

Ibnu Taymiyah Vs Wahhaby

Parahnya, kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak luput dari aksi mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh Ibnu Taimiyah, mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk dan tasawwuf. (Alhamdulilah, penulis memiliki cetakan lama) Bukankah ini semua perbuatan dzalim? Mereka jelas-jelas melanggar hak cipta karya intelektual para pengarang dan melecehkan karya-karya monumental yang sangat bernilai dalam dunia islam. Lebih dari itu, tindakan ini juga merupakan pengaburan fakta dan ketidakjujuran terhadap dunia ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi sikap transparansi dan obyektivitas.

Mengikuti salaf?

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tasawwuf, maulid, talqin mayyit, ziarah dan lain-lain yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama pendahulu wahhabi. Ironisnya, sikap mereka sekarang justru bertolak belakang dengan pendapat ulama mereka sendiri.

Pertama, ibnu taimiyah dan imam 4 madzab dukung tasawuf.

Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal 507 Syekh Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam sufi dan para syekh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta lainnya, adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kalam-kalamnya secara keseluruhan berisi anjuran untuk mengikuti ajaran syariat dan menjauhi larangan serta bersabar menerima takdir Allah.

Dalam “Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawwuf adalah akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawwuf.”

Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab Fatawa wa Rosail hal. 31 masalah kelima. “Ketahuilah -mudah-mudahan Allah memberimu petunjuk – Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk berupa ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal shaleh. Orang yang dinisbatkan kepada agama Islam, sebagian dari mereka ada yang memfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian lainnya memfokuskan diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti orang-orang sufi. Maka sebenarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya dengan agama yang meliputi dua kategori ini (Fiqh dan tasawwuf)”. Demikianlah penegasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ajaran tasawuf bersumber dari Nabi SAW.

Kedua, Ibnu taymiyah iktiraf mengenai pembacaan maulid.

Dalam kitab Iqtidha’ Sirathil Mustaqim “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, Ibnu Taimiyah berkata, Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…” Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”
Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai:“Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”

Ketiga, Ibnu taymiyah dan imam madzab iktiraf sampainya hadiah pahala

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.

Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang

hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.

Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”

Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut.

Keempat, masalah talqin.

Dalam kumpulan fatwa juz 24 halaman 299 Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sebagian sahabat Nabi SAW melaksanakan talqin mayit, seperti Abu Umamah Albahili, Watsilah bin al-Asqa’ dan lainnya. Sebagian pengikut imam Ahmad menghukuminya sunnah. Yang benar, talqin hukumnya boleh dan bukan merupakan sunnah. (Ibnu Taimiyah tidak menyebutnya bid’ah)

Dalam kitab AhkamTamannil Maut Muhammad bin Abdul Wahhab juga meriwayatkan hadis tentang talqin dari Imam Thabrani dalam kitab Al Kabir dari Abu Umamah.

Kelima, tentang ziarah ke makam Nabi SAW.

Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama “Diantara amalan yang paling utama dalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”.

Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan takdzim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia

menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata (bait 4048).

Hal ini sangat kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana khusyu’ dan khidmat di makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram. Orang-orang bayaran wahhabi dengan congkaknya membelakangi makam Nabi yang mulia. Mata mereka memelototi peziarah dan membentak-bentak mereka yang sedang bertawassul kepada beliau SAW dengan tuduhan syirik dan bid’ah. Tidakkah mereka menghormati jasad makhluk termulia di semesta ini..? Tidakkah mereka ingat firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al Hujarat, 49: 2-3).

Ke enam , Ibnu taymiyah dukung amalan nisfu syaban

IBNU TAIMIYAH MENGKHUSUSKAN AMALAN SOLAT PADA NISFU SYA’BAN & MEMUJINYA
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Majmuk Fatawa pada jilid 24 mukasurat 131 mengenai amalan Nisfu Sya’ban teksnya:

إذا صلَّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ

Ertinya: ” Apabila seorang itu menunaikan solat pada malam Nisfu Sya’ban secara individu atau berjemaah secara KHUSUS sepertimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka ianya adalah BAIK “.

IBNU TAIMIYAH MENGKHUSUSKAN AMALAN SOLAT NISFU SYA’BAN KERANA ADA HADITH MEMULIAKANNYA
Berkata Ibnu Taimiyah pada kitab Majmuk Fatawa jilid 24 juga pada mukasurat seterusnya 132 teksnya:

وأما ليلة النصف – من شعبان – فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات

Terjemahan kata Ibnu Taimiyah di atas:
” Berkenaan malam Nisfu Sya’ban maka telah diriwayatkan mengenai kemulian dan kelebihan Nisfu Sya’ban dengan hadith-hadith dan athar, dinukilkan dari golongan AL-SALAF (bukan wahhabi) bahawa mereka menunaikan solat khas pada malan Nisfu Sya’ban, solatnya seseorang pada malam itu secara berseorangan sebenarnya telahpun dilakukan oleh ulama Al-Salaf dan dalam perkara tersebut TERDAPAT HUJJAH maka jangan diingkari, manakala solat secara jemaah (pd mlm nisfu sya’ban) adalah dibina atas hujah kaedah am pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat” .

IBNU TAIMIYAH MENGALAKKAN KITA MENGIKUT AS-SALAF YANG MENGKHUSUSKAN AMALAN PADA NISFU SYA’BAN
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada mukasurat 266 teksnya:

ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد – ابن حنبل من أئمة السلف – ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن

Terjemahan kata Ibnu Taimiyah di atas:
((” Malam Nisfu Sya’ban. Telah diriwayatkan mengenai kemuliannya dari hadith-hadith Nabi dan kenyataan para Sahabat yang menjelaskan bahawa ianya adalah MALAM YANG MULIA dan dikalangan ulama As-Salaf yang MENGKHUSUSKAN MALAM NISFU SYA’BAN DENGAN MELAKUKAN SOLAT KHAS PADANYA dan berpuasa bulan Sya’ban pula ada hadith yang sahih. Ada dikalangan salaf, sebahagian ahli madinah dan selain mereka sebahagian dikalangan khalaf yang mengingkarinya kemuliannya dan menyanggah hadith-hadith yang diwaridkan padanya seperti hadith
‘Sesungguhnya Allah mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’ katanya mereka tiada beza dengan itu dengan selainnya, AKAN TETAPI DI SISI KEBANYAKAN ULAMA AHLI ILMU ATAU KEBANYAKAN ULAMA MAZHAB KAMI DAN ULAMA LAIN ADALAH MEMULIAKAN MALAM NISFU SYA’BAN, DAN DEMIKIAN JUGA ADALAH KENYATAAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL DARI ULAMA AS-SALAF kerana terlalu banyak hadith yang dinyatakan mengenai kemulian Nisfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemulian Nisfu Sya’ban dalam banyak kitab hadith Musnad dan Sunan “)).
Tamat kenyataan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada mukasurat 266.

Ke tujuh, Ibnu Taymiyah Bertobat dari aqidah sesat

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi. Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H. (Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany,kitab : Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148, dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H :cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab )

Ke delapan , Ibnu Taimiyah Memuji Golongan Islam AL-ASYA’IRAH Manakala Semua Wahhabi Pula Mengkafirkan Al-Asya’irah

Berkata Syeikhul IslamWahhabi Ahmad Bin Taimiyah Al-Harrani mengenai golongan Islam iaitu Al-Asya’irah (teksnya):
” Manakala sesiapa yang melaknat ulama-ulama Al-Asya’irah maka si pelaknat itu hendaklah dihukum ta’zir dan kembali laknat itu kepada sesiapa yang melaknat Al-Asyairah juga sesiapa yang melaknat orang yang bukan ahli untuk dilaknat maka dialah yang perlu dilaknat, ulama adalah pendukong cabangan agama dan AL-ASYA’IRAH PULA ADALAH PENDUKONG DAN PEJUANG ASAS AGAMA ISLAM“.
Demikan kenyataan Ibnu Taimiyah mengenai Al-Asya’irah.

Teks Ibnu Taimiyah tersebut in arabic dalam kitabnya berjudul Majmuk Fatawa pada juzuk 4 mukasurat12:

وأما لعن العلماء لأئمة الأشعرية فمن لعنهم عزر. وعادت اللعنة عليه فمن لعن من ليس أهلاً للعنة وقعت اللعنة عليه. والعلماء أنصار فروع الدين، والأشعرية أنصار أصول الدين

Ke sembilan: Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan.

Pendapat jumhur ahlusunnah : mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Bahkan Ibnu taymiyah dan ibnu qayyim pun berpendapat bahwa shalat tarawih 20 rekaat.

Sholat Qiyam Ramadhan (sholat pada malam bulan Ramadhan) dinamakan Sholat Tarawih kerana sholat ini panjang dan banyak rakaatnya. Jadi, orang yang mendirikannya perlu berehat. Rehat ini dilakukan selepas mendirikan setiap 4 rakaat, kemudian mereka meneruskannya kembali (sehingga 20 rakaat). Sebab itulah ia dipanggil Sholat Tarawih[4].

Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-Arab: “ اَلتَّرَاوِيحُ “ adalah jama’ (plural) “ تَرْوِيحَةٌ “, yang bermaksud “sekali istirehat”, seperti juga “ تَسْلِيمَةٌ “ yang bermaksud “sekali salam”. Dan perkataan “Tarawih” yang berlaku pada bulan Ramadhan dinamakan begitu kerana orang akan beristirehat selepas mendirikan 4 rakaat[5].

Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir) berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur.

Ke sepuluh : Ibnu Taymiyah dan Imam 4 madzab fatwakan khamr NAJIS

Data-data di atas adalah sekelumit dari hasil penelitian obyektif pada kitab-kitab mereka sendiri, sekedar wacana bagi siapa saja yang ingin mencari kebenaran. Mudah mudahan dengan mengetahui tulisan-tulisan pendahulunya, mereka lebih bersikap arif dan tidak arogan dalam menilai kelompok lain. (Ibnu KhariQ)

Referensi

- Majmu’ fatawa Ibn Taimiyah

- Qasidah Nuniyyah karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah

- Iqtidha’ Shirathil Mustaqim karya Ibn Taimiyah cet. Darul Fikr

- Ar-Ruh karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, cet I Darul Fikr 2003

- Ahkam Tamannil Maut karya Muhammad bin Abdul Wahhab, cet. Maktabah

Saudiyah Riyadh Nasihat li ikhwanina ulama Najd karya Yusuf Hasyim

Ar-Rifa’i

Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th. IV Rabi’ul Awwal 1429 H / April 2008 M

dengan tambahan dari admin salafy tobat.

Lampiran-lampiran :
Lampiran ini ada 7 bagian :
1. Bukti wahaby ubah dan palsukan kitab ulama
2. Bukti wahaby palsukan kitab al-adzkar imam nawawi
3. Ibnu taymiyah : hadiah dzikir dan bacaan alqur’an pada mayyit sampai
4. Pemalsuan diwan syafei oleh website wahaby (almeyskat .com)
5. Ibnu taymiyah bertobat dari aqidah tajsim
6. Ibnu taymiyah Galakkan amalan maulid Nabi
7. Ibnu Taymiyah Fatwakan Khamr Najis
8. Ibnu taymiyah galakan talkin mayyit
9. Ibnu taymiyah galakan amalan nisfu sa’ban manakala wahaby mengkafirkannya
10. Ibnu taymiyah memuji kaidah aqidah asya’irah dalam salah satu jilid kitab
Majmu fatawa Ibnu taymiyah
11. Ibnu Taymiyah Taubat dari aqidah tajsim “Tuhan Duduk dan bertempat”
12. Ibnu Taymiyah dan imam hanafy, ahmad, syafii fatwakan Shalat tarawih 20 rekaat (selain witir)
dan imam maliki fatwakan shalat tarawih 36 rekaat (selain witir).

1). WAHHABI PALSUKAN & UBAH KITAB TAFSIR ULAMA

Disusun oleh: Abu Syafiq Al-Asy’ary 012-28505 78

DI ATAS ADALAH COVER BAGI KITAB “HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN”

KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY MENINGGAL 1241H. YANG TELAH DIPALSUKAN OLEH WAHHABI.CETAKAN DAR KUTUB ILMIAH PADA TAHUN 1420H IAITU SELEPAS CETAKAN YANG ASAL TELAH PUN DIKELUARKAN PADA TAHUN 1419H.

INI ISU KANDUNGAN DALAM KITAB YANG TELAH DIPALSUKAN:

ISI KITAB DI ATAS YANG TELAH DIPALSUKAN & TIDAK BERSANDARKAN PADA NASKHAH YANG ASAL DAN DIUBAH PELBAGAI ISI KANDUNGAN ANTARANYA PENGARANG KITAB TELAH MENYATAKAN WAHHABI ADALAH KHAWARIJ KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM TANPA HAK. TETAPI DIPALSUKAN OLEH WAHHABI LANTAS DIBUANG KENYATAAN TERSEBUT. INI MERUPAKAN KETIDAK ADANYA AMANAH DALAM ILMU AGAMA DISISI KESEMUA PUAK WAHHABI. NAH…! INILAH KITAB TAFSIR TERSEBUT YANG ORIGINAL LAGI ASAL:

DI ATAS INI ADALAH COVER KITAB SYARHAN TAFSIR ALQURAN BERJUDUL

“HASYIYAH AL-ALLAMAH AS-SOWI ALA TAFSIR JALALAIN”.KARANGAN SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AS-SOWI ALMALIKY

MENINGGAL 1241H.CETAKAN INI ADALAH CETAKAN YANG BERSANDARKAN PADA NASKHAH KITAB TERSEBUT YANG ASAL.

DICETAK OLEH DAR IHYA TURATH AL-’ARABY. PERHATIKAN PADA BAHAGIAN BAWAH SEBELUM NAMA TEMPAT CETAKAN

TERTERA IANYA ADALAH CETAKAN YANG BERPANDUKAN PADA ASAL KITAB.CETAKAN PERTAMA PADA TAHUN 1419H

IAITU SETAHUN SEBELUM KITAB TERSEBUT DIPALSUKAN OLEH WAHHABI. INI ISI KANDUNGAN DALAM KITAB

TERSEBUT PADA JUZUK 5 MUKASURAT 78:



DI ATAS INI ADALAH KENYATAAN SYEIKH AS-SOWI DARI KITAB ASAL MENGENAI WAHHABI DAN BELIAU MENYIFATKAN

WAHHABI SEBAGAI KHAWARIJ YANG TERBIT DI TANAH HIJAZ. BELIAU MENOLAK WAHHABI BAHKAN MENYATAKAN

WAHHABI SEBAGAI SYAITAN KERANA MENGHALALKAN DARAH UMAT ISLAM, MEMBUNUH UMAT ISLAM DAN MERAMPAS

SERTA MENGHALALKAN RAMPASAN HARTA TERHADAP UMAT ISLAM.LIHAT PADA LINE YANG TELAH DIMERAHKAN.

Inilah Wahhabi. Bila ulama membuka pekung kejahatan mereka Wahhabi akan bertindak ganas

terhadap kitab-kitab ulama Islam. Awas..sudah terlalu banyak kitab ulama Islam dipalsukan oleh

Wahhabi kerana tidak sependapat dengan mereka. Semoga Allah memberi hidayah kepada Wahhabi dan

menetapkan iman orang Islam.

2). BUKTI KESEMUA SANG WAHHABI PENGKHIANAT KITAB AGAMA


Peluh yang mengalir, keringat menadah usaha pergi menuntut mutiara ilmu tidak akan kecapi

serinya sekiranya apa yang dipelajari penuh dengan pengkhianatan dan hilang keaslianya.

Penipu…!!! Pembohong lagi sang penukar isi kandungan kitab-kitab ulama merupakan pengkhianat

dan penjenayah yang wajib dihumban ke pintu-pintu neraka dunia ( jail )… Pengkhianat tersebut

wataknya tidak asing lagi iaitu hero sekalian hero Iblis Syaiton yang celaka iaitu

Wahhabi Dajjal…!… Demikian kata-kata yang terkeluar daripada seorang penuntut ilmu agama

yang ikhlas apabila mengetahui kebanyakan isi kandungan kitab-kitab agama telah diubah,

ditukar dan diputar belit tanpa amanah oleh sang Pengkhianat Wahhabi. BUKTINYA….

Dalam ratusan kitab ulama Islam antaranya yang telah di ubah oleh Sang Wahhabi adalah:

(Rujuk kenyataan kitab yang telah di scan di atas)

1- Kitab berjudul Al-Azkar karangan Imam Nawawi cetakan Dar Al-Huda di RIYADH SAUDI ARABIA

Tahun 1409H Sang Wahhabi mengubah tajuk yang asalnya ditulis oleh Imam Nawawi adalah

FASAL PADA MENZIARAHI KUBUR RASUL SOLLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM wahhabi menukar kepada

FASAL PADA MENZIARAHI MASJID RASULULLAH. Lihat perubahan yang amat ketara Wahhabi menukar

pada tajuk besar dalam kitab tersebut dan juga isi kandungannya dibuang dan diubah. Mungkin bagi

kanak-kanak hingus Wahhabi akan mengatakan.. “alaa..apa sangat tukarnya…sket jek”.

Saya ( Abu Syafiq ) katakan. Haza ‘indallahi ‘azhim. Perubahan yang dilakukan oleh sang Wahhabi

adalah amat menyimpang disebaliknya motif dan agenda tertentu mengkafirkan umat Islam yang

menziarahi maqam Nabi. Ditambah lagi isi kandungan dalam FASAL tersebut turut dihilangkan

dan dibuang dari kitab tersebut dan kisah ‘Utby turut dihapuskan dalam FASAL tersebut.

Beginilah jadinya apabila kitab-kitab agama yang diterbitkan oleh tangan-tangan Wahhabi

yang tidak amanah…pengkhianat agama Allah! Mereka turut menukar dan berubah kenyataan fakta

dalam kitab Hasyiyah As-Syowy ‘Ala Tafsir Jalalain. Dan Sang Wahhabi turut membuang kenyataan

pada FASAL yang khas dalam kitab Hasyiyah Ibnu ‘Abidin As-Syamy. Ini hanya secebis pengkhianatan

sang Wahhabi merubah kesemua kitab-kitab agama mengikut hawa nafsu Yahudi mereka. Cara yang sama

turut dilakukan oleh Wahhabi sekarang demi membangkitkan lagi fitnah dalam masyarakat Islam.

Akan datang…pembongkaran ilmiah.. Wahhabi ubah ayat Al-Quran dan Hadith dalam Sohih Bukhari…

nantikan bahawa SYIAH DAN WAHHABI ADALAH SEKUFU.

3. WAHHABI KAFIRKAN TAHLIL&ZIKIR, Ibnu Taimiah Mengharuskan&Menggalakkannya Pula

BUKTI WAHHABI MENGKAFIRKAN AMALAN TAHLIL DAN ZIKIR MANAKALA IBNU TAIMIAH MENGALAKKAN PULA.

DI ATAS ADALAH KITAB IBNU TAIMIAH BERJUDUL MAJMUK FATAWA JILID 24 PADA MUKASURAT 324.
DI ATAS ADALAH KITAB IBNU TAIMIAH BERJUDUL MAJMUK FATAWA JILID 24 PADA MUKASURAT 324.
IBNU TAIMIAH DITANYA MENGENAI SESEORANG YANG BERTAHLIL, BERTASBIH,BERTAHMID,BERTAKBIR
DAN MENYAMPAIKAN PAHALA TERSEBUT KEPADA SIMAYAT MUSLIM LANTAS IBNU TAIMIAH MENJAWAB AMALAN
TERSEBUT SAMPAI KEPADA SI MAYAT DAN JUGA TASBIH,TAKBIR DAN LAIN-LAIN ZIKIR SEKIRANYA DISAMPAIKAN
PAHALANYA KEPADA SI MAYAT MAKA IANYA SAMPAI DAN BAGUS SERTA BAIK.
Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.

DI ATAS PULA ADALAH KITAB IBNU TAMIAH BERJUDUL MAJMUK FATAWA JUZUK 24 PADA MUKASURAT 324.
IBNU TAIMIAH DI TANYA MENGENAI SEORANG YANG BERTAHLIL 70000 KALI DAN MENGHADIAHKAN KEPADA SI
MAYAT MUSLIM LANTAS IBNU TAIMIAH MENGATAKAN AMALAN ITU ADALAH AMAT MEMBERI MANAFAAT DAN AMAT
BAIK SERTA MULIA.

saya nukilkan dari kitab yang lain :

Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit.
Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala
bacaanku ini kepada si fulan.”

Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,
”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu,
karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya
bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”

Tetapi amalan ini adalah amalan kufur disisi Wahhabi.

4). Bait Diwan Imam Syafe’i yang dihilangkan oleh wahabi ****

BAIT YANG HILANG DARI DIWAN IMAM SYAFI’I !

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan
juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf,
maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa.
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih,
maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

COBA DOWNLOAD DARI :

http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=17&book=16

MAKA KALIMAT DI ATAS SUDAH HILANG !

BANDINGKAN DENGAN TERBITAN BEIRUT DAN DAMASKUS:

Dar al-Jil Diwan (Beirut 1974) p.34



Dar al-Kutub al-`Ilmiyya (Beirut 1986) p.48



Bahkan terbitan Dar el-mareefah juga dihilangkan:
http://www.4shared.com/file/37064910/c3ad321/Diwan_es-Safii.html?s=1

5). Ibnu Taimiah Bertaubat Dari Akidah Salah(DISERTAKAN DGN SCAN KITAB)







*INI MERUPAKAN ARTIKEL ULANGAN DITAMBAH DENGAN SCAN KITAB YANG MERUPAKAN BUKTI KUKUH OLEH TUAN BLOG ATAS KENYATAAN YANG DITULIS.SILA RUJUK ARTIKEL ASAL:

http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/07/ibnu-taimiah-bertaubat-dari-akidah.html

*TETAPI INI TIDAK MENOLAK PENTAKFIRAN ULAMA TERHADAP PEMBAWA AKIDAH TAJSIM. KERANA GOLONGAN MUJASSIMAH TERKENAL DENGAN AKIDAH YANG BERBOLAK-BALIK DAN AKIDAH YANG TIDAK TETAP DAN TIDAK TEGUH.HARAP FAHAM SECARA BENAR DAN TELITI.

Oleh: abu_syafiq As-Salafy (012-285057 Assalamu3alaykum Ramai yang tidak mengkaji sejarah dan hanya menerima pendapat Ibnu Taimiah sekadardari bacaan kitabnya sahaja tanpa merangkumkan fakta sejarah dan kebenaran dengan telus dan ikhlas.

Dari sebab itu mereka (seperti Wahhabiyah) sekadar berpegang dengan akidah salah yang termaktub dalam tulisan Ibnu Taimiah khususnya dalam permasaalahan usul akidah berkaitan kewujudan Allah dan pemahaman ayat ” Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”. Dalam masa yang sama mereka jahil tentang khabar dan berita sebenar berdasarkan sejarah yang diakui oleh ulama dizaman atau yang lebih hampir dengan Ibnu Taimiah yang sudah pasti lebih mengenali Ibnu Taimiah daripada kita dan Wahhabiyah. Dengan kajian ini dapatlah kita memahami bahawa sebenarnya akidah Wahhabiyah antaranya :
1-Allah duduk di atas kursi.
2-Allah duduk dan berada di atas arasy.
3-Tempat bagi Allah adalah di atas arasy.
4-Berpegang dengan zohir(duduk) pada ayat “Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
5-Allah berada di langit.
6-Allah berada di tempat atas.
7-Allah bercakap dengan suara.
8-Allah turun naik dari tempat ke tempat dan selainnya daripada akidah kufur sebenarnya Ibnu Taimiah

telah bertaubat daripada akidah sesat tersebut dengan mengucap dua kalimah syahadah serta mengaku sebagai pengikut Asyairah dengan katanya “saya golongan Asy’ary”. (Malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asyairah, lihat buktinya :

).http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi juga termasuk kanak-kanak Wahhabi di Malaysia ( Mohd Asri Zainul Abidin).
Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulamasezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H. Ini penjelasannya :

Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148 dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:

وأما تقي الدين فإنه
استمر في الجب بقلعة الجبل إلى أن وصل الأمير حسام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأحضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، وحصل بحث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم تحضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم يحضر غيره من القضاة ، وحصل البحث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الرحمن الرحيم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أحمد بن تيمية الحراني الحنبلي بحضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، وحضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مباحث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( الحمد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس بحرف ولا صوت ، كتبه أحمد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على حقيقته وظاهره ، كتبه أحمد بن تيمية ، وذلك في يوم الأحد خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل المحروسة من الديار المصرية حرسها الله تعالى بتاريخ يوم الأحد الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا المحضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة
Saya terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut:
1- ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من

الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ،

وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق

Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.

Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiah bahawa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki iaitu duduk. Golongan Wahhabiyah sehingga ke hari ini masih berakidah dengan akidah yang salah ini iaitu menganggap bahawa Istiwa Allah adalah hakiki termasuk Mohd Asri Zainul Abidin yang mengatakan istawa bermakna duduk cuma bagaimana bentuknya bagi Allah kita tak tahu. lihat dan dengar sendiri Asri sandarkan DUDUK bagi Allah di :

http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/06/asri-menghidupkan-akidah-yahudi-allah.html .

6). Ibnu taymiyah Pun Mendukung Maulid Nabi

7). Ibnu Taymiyah Fatwakan Khamr adalah Najis
Jumhur ulama, termasuk imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah)berpendapat bahwa khamr adalah najis. Dan ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Muhammad abduh, yusuf Qardawi dan semua Ulama sunni…
dalam fiqh syafeiyah :

wadah itu kena hukum haram.
- wajib menyucikan diri darinya dan wajib mencuci pakaian atau badan yang terkena khamr.
untuk jelasnya :
Mari kita lihat tentang Bab Najis.

1. Dalam kitab “ihya ulumuddin” jilid I/458, Bab “Rahasia Bersuci”, Bagian pertama “tentang bersucidaripada najis”.
Segi pertama : Mengenai apa yang dihilangkan Yang dihilangkan adalah najis

Benda itu tiga : benda tidak bernyawa (jamaadat), hewan dan bahagian-bahagian daripada badan hewan. Adapun benda yang tidak bernyawa : maka semuanya suci selain khamr dan tiap-tiap yang berasal dari buah anggur kering yang memabukan.


Hewan itu semuanya suci, selain anjing, babi dan anak dari keduanya atau salah satu dari keduanya.
Apabila hewan itu mati, maka najis semuanya, kecuali lima : manusia, ikan, belalang, ulat buah-buahan.

Dan dipandang seperti itu, tiap-tiap makanan yang berubah.tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti lalat, lipas dan lain-lain, maka tidaklah najis air jatuhnya ke dalam air. (kitab “ihya ulumuddin” jilid I/458, Bab “Rahasia Bersuci”, Bagian pertama “tentang bersuci dari pada najis”, pustaka nasional, singapura, 1988)

2. Fiqh syafei, jilid I halaman 23, Bab Najis dan Tafsir Muhammad Abduh

(saya ringkas karena dalil dan penjelasannya sangat banyak)….
Najis ada tiga :
1. Najis Mughaladhah (najis yang tebal/berat) seperti anjing, babi, anak dari keduanya
2. Najis mukhaffafah, artinya najis yang ringan seperti kencing bayi yang belum makan (masih menyusu)
3. Najis mutawasittah, artinya najis yang pertengahan…(khamr masuk dibagian ini…)

Bagian 3. Najis mutawasittah, artinya najis yang pertengahan

Adapun najis mutawasittah terbagi menjadi dua, yaitu ainiyah (yang kelihatan mata) dan hukmiyah

(yang tidak kelihatan mata).Contoh Najis hukmiyah (yang tidak kelihatan) yaitu kencing (baul) orang dewasa yang sudah kering, yang salah satu sifatnya tidak didapati lagi. Maka cara mensucikannya cukuplah dengan melakukan (menumpahkan) air keatasnya sekali sahaja, wadah khamr yang sudah kering termasuk najis hukmiyah, cara menghilangkannya cukup menyiramkan air satu kali Sedang cara mensucikan najis ainiyah itu ialah dengan jalan membasuh yang menghilangkan sifat-sifat najis tersebut. Tetapi apabila keduanya bau dan warna itu masih tinggal belumlah dinamakan suci.

Adapun macam-macam najis mutawasittah itu ialah :

1. Kencing (baul) orang dewasa
2. ghaith (tahi), juga tahi burung, ikan, belalang, tau tahi binatang yang tak berdarah mengalir.
3. Darah
4. nanah
5.Muntah
6. Mazi
7.Madi
8. Mayat/bangkai (selain mayat belalang, ikan dan manusia)
9. Air luka
10. Susu binatang yang haram dimakan dagingnya kecuali susu manusia.
11. Daging yang dipotong selagi hidup.
12. Khamr (arak) atau minuman yang memabukan.
Khamr menurut imam syafei adalah najis berdasarkan ayat di bawah ini :
“sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan kotor

(keji : rijsun), ia termasuk pekerjaan setan, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhinya”. (Al-maidah, ayat 90)
Berkata imam zujaj : “Rijis pada lughat, ialah nama bagi tiap apa yang kotor (keji) dari pekerjaanmaupun perbuatan. Dan sesungguhnya didalam al-qur’an disebutkan banyak ayat yang mengenai “najis” yang tidak ada tempat yang nyata padanya “kotoran menurut hissi (perasaan)”, hanya tersebut dalam firman Allah : “Katakanlah wahai Muhammad SAW : Tidak aku peroleh pada yang diturunkan kepadaku sesuatu makananyang diharamkan atas orang yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya itu barang yang keji (najis : rijsun) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al- an’am ayat 145)(Tafsir Muhammad Abduh, juz 7 hal. 57)

Sedangkan menurut ahli usul : memakaikan satu kalimat untuk seluruh makna adalah dibolehkan. Oleh sebab itu Babi maupun Khamr disebut diatas dapat diartikan “keji (rijsun)” dan dalam kata-katakeji itu termasuk najis, baik menurut maknanya maupun menurut hissi.
Dengan demikian larangan memakan atau meminumnya, bukan hanya arak/khamr memabukan atau mengandungcacing pita yang tidak dapat mati karena api, tetapi juga karena kedua-duanya adalah NAJIS. Berkata Imam Ar-Raghib : ” Najis itu adalah sesuatu yang kotor, yang dapat ditinjau dari empat segi.Adakalanya dari segi tabiat (sifatnya), adakalanya dari segi akal, adakalanya dari segi syarat, dan adakalanya dari semua segi diatas. Seperti mayat. Maka sesungguhnya mayat itu dipandang jijik menurut tabiat, nafsu,akal dan menurut syarat. Sedang judi dan Khamr dipandang NAJIS DARI SEGI SYARAT. (Tafsiran Muhammad Abduh, juz 7 halaman 158 ) dan (Fiqh syafei, jilid I/26,Bab Najis,Pustaka Antara,Kuala Lumpur,1989).

3. Menurut Prof Dr alQaradawi Khamr adalah Najis
Ini juga pendapat Prof Dr alQaradawi dlm Fatawa Mua\’asirat.Perbahasan ulama\’ dalam bab najis sebenarnyatertumpu pada khamar bukan alkohol (anNawawi, alMajmoo\’: 2/516).

4. Menurut Lembaga Fatwa Al-AzharKhamr adalah Najis Lembaga Fatwa Al-Azhar berpendapat bahawa alkohol (yang hukan dari industry khamr) itu tidak najis manakala arak tetap najis. Setelah membincangkan perkara ini dengan panjang lebar maka jawatankuasa mengambil keputusan bahawa minuman ringan yang dibuat sama caranya dengan arak adalah haram.
Alkohol yang terjadi sampingan dalam proses pembuatan makanan tidak najis dan boleh di makan.

Ubat-ubatan dan pewangi yang ada kandungan alkohol adalah harus dan dimaafkan. Berdasarkan fatwa dari Sheikh Atiyyah Saqr, Mesir, alkohol yang terdapat dalam minyak wangi tidak menghalang dari sahnya sembahyang.Menurutnya, alkohol tersebut tidak najis kerana ia bukan digunakan untuk dijadikan minuman keras.

5. JAKIM – MALAYSIA DAN MUI (Majelis Ulama Indonesia) – Indonesia Khamr adalah haram dan NAJIS. Sedangkan alcohol yang bukan berasal dari industri khamr adalah suci,tetapi jika ia dimasukan dengan sengaja ke dalam suatu minuman maka minuman itu haram hukumnya. maaf kami sekedar membuktikan fatwa aliran wahaby bahwa khamr itu suci adalah fatwa menyesatkan…dan sengaja diperuncing untuk memecah belah barisan sunni….waspadalah… hukum khamr iaitu najis mutasawittah, baru kita membahas mengenai alkohol dengan lebih berhati-hati (terutama copy paste dari situs-situs wahaby)

_________________________________________

Pendapat sesat wahaby :
Asy-Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , bin Baz

lihat kata-kata albany :

Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah hal. 55 dan As-shahihah (5/460)
rujuk : http://www.ikhwan_interaktif.com/islam/?pilih=news&aksi=lihat&id=1733

dan artikel sesat wahaby indonesia : Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

http://asy-syariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=311

mereka menghukumi khamr adalah suci!
mereka mengaburkan pengertian alkohol dan khamr sehingga seolah-olah semua alkohol adalah khamr…

hati-hatilah!
______________
mana alkohol yang tergolong KHamr?
mungkin ini sedikit menjelaskan :
Fatwa MUI Indonesia dan JAKIM Malaysia :
alcohol yang bukan berasal dari industri khamr adalah suci, tetapi jika ia dimasukan dengan sengaja

ke dalam suatu minuman maka minuman itu haram hukumnya. lebih jelasnya :

http://salafytobat.wordpress.com/2008/12/13/bukti-wahaby-fatwakan-khamr-tidak-najis/


10. Wahaby mensyariatkan Shalat Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni yang mensyariatkan

Menurut pendapat jumhur iaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir)

berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki: 36 rakaat berdasarkan

ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6].

Walau bagaimana pun, pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur bahkan ibnu taymiyah juga tarawih 20 rekaat!!!. Lihat dalam kitab fiqh 4 madzab dibawah ini :




Dalam Kitab “shalat tarawih 20 rekaat karya mufti mesir juga disebutkan seperti diatas :









Di Sisi Syafeiyyah bilangan raka’at terawih adalah 20 rakaat dan bukan 8 sebgaimana yang digembar-gemburkan oleh Mutasyaddid(pelampau) wahabi !


Didalam muka surat ini pula dijelaskan kenyataan Ibnu Hajar yang menyatakan di sisi

kami selain ahli Madinah adalah 20 raka’at.sementara Ahli Madinah melakukan mereka itu

dengan 36 raka’at.

Ibnu Taymiyah yang katanya imam badwi Najd wahaby juga fatwakan tarawih 20 rekaat :

Bacalah sendiri penulisan Dr Ali Juma’ah tantang terawih .Nak terjemahkan kurang masa.

Walaubagaimana pun telah ana jelaskan dalam tajuk Terawih 20 rakaat. Didalam penulisan Dr Ali Jumaah juga menyatakan Ibnu Taimiyyah yang didokong oleh golongan MUTASYADDID (pelampau) juga memfatwakan bilangan rakaat terawih 20 rakaat. Untuk dalil-dalil dalam perkara ini lihat pada artikel ini di bagian pertama.

http://salafytobat.wordpress.com/2009/09/04/fitnah-dan-bid%E2%80%99ah-wahaby-salafy-palsu-di-bulan-ramadhan-1/

Bid'ah

B ID’AH
I . Nabi saw memperbolehkan
berbuat bid ’ah hasanah .
Nabi saw memperbolehkan kita
melakukan Bid ’ah hasanah selama hal
itu baik dan tidak menentang syariah ,
sebagaimana sabda beliau saw:
“ Barangsiapa membuat buat hal baru
yang baik dalam islam , maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya , dan
barangsiapa membuat -buat hal baru
yg buruk dalam islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yg
mengikutinya dan tak dikurangkan
sedikitpun dari dosanya ” (Shahih
Muslim hadits no .1017 , demikian pula
diriwayatkan pada Shahih Ibn
Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra,
Sunan Addarimiy , Shahih Ibn Hibban
dan banyak lagi ). Hadits ini
menjelaskan makna Bid ’ah hasanah
dan Bid' ah dhalalah .
Perhatikan hadits beliau saw,
bukankah beliau saw menganjurkan ? ,
maksudnya bila kalian mempunyai
suatu pendapat atau gagasan baru yg
membuat kebaikan atas islam maka
perbuatlah . ., alangkah indahnya
bimbingan Nabi saw yg tidak mencekik
ummat , beliau saw tahu bahwa
ummatnya bukan hidup untuk 10 atau
100 tahun, tapi ribuan tahun akan
berlanjut dan akan muncul kemajuan
zaman , modernisasi, kematian ulama ,
merajalela kemaksiatan , maka
tentunya pastilah diperlukan hal -hal
yg baru demi menjaga muslimin lebih
terjaga dalam kemuliaan , demikianlah
bentuk kesempurnaan agama ini, yg
tetap akan bisa dipakai hingga akhir
zaman , inilah makna ayat : “ ALYAUMA
AKMALTU LAKUM DIINUKUM. .dst ,
“ hari ini Kusempurnakan untuk kalian
agama kalian, kusempurnakan pula
kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi
islam sebagai agama kalian” ,
maksudnya semua ajaran telah
sempurna , tak perlu lagi ada
pendapat lain demi memperbaiki
agama ini , semua hal yg baru selama
itu baik sudah masuk dalam kategori
syariah dan sudah direstui oleh Allah
dan rasul Nya, alangkah sempurnanya
islam .
Namun tentunya bukan membuat
agama baru atau syariat baru yg
bertentangan dengan syariah dan
sunnah Rasul saw, atau menghalalkan
apa- apa yg sudah diharamkan oleh
Rasul saw atau sebaliknya , inilah
makna hadits beliau saw :
“ Barangsiapa yg membuat buat hal
baru yg berupa keburukan ... dst” ,
inilah yg disebut Bid ’ah Dhalalah .
Beliau saw telah memahami itu
semua , bahwa kelak zaman akan
berkembang , maka beliau saw
memperbolehkannya (hal yg baru
berupa kebaikan ), menganjurkannya
dan menyemangati kita untuk
memperbuatnya, agar ummat tidak
tercekik dengan hal yg ada dizaman
kehidupan beliau saw saja , dan beliau
saw telah pula mengingatkan agar
jangan membuat buat hal yg buruk
( Bid’ ah dhalalah ).
Mengenai pendapat yg mengatakan
bahwa hadits ini adalah khusus untuk
sedekah saja, maka tentu ini adalah
pendapat mereka yg dangkal dalam
pemahaman syariah , karena hadits
diatas jelas-jelas tak menyebutkan
pembatasan hanya untuk sedekah
saja, terbukti dengan perbuatan
bid ’ah hasanah oleh para Sahabat
dan Tabi’in.
II . Siapakah yg pertama memulai
Bid ’ah hasanah setelah wafatnya
Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-
besaran atas para sahabat (Ahlul
yamaamah) yg mereka itu para
Huffadh ( yg hafal ) Alqur ’an dan Ahli
Alqur ’an di zaman Khalifah Abubakar
Asshiddiq ra, berkata Abubakar
Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit
ra : “ Sungguh Umar (ra) telah datang
kepadaku dan melaporkan
pembunuhan atas ahlulyamaamah
dan ditakutkan pembunuhan akan
terus terjadi pada para Ahlulqur ’an ,
lalu ia menyarankan agar Aku
( Abubakar Asshiddiq ra)
mengumpulkan dan menulis Alqur ’an ,
aku berkata : Bagaimana aku berbuat
suatu hal yg tidak diperbuat oleh
Rasulullah ..?? , maka Umar berkata
padaku bahwa Demi Allah ini adalah
demi kebaikan dan merupakan
kebaikan , dan ia terus meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar, dan
engkau (zeyd ) adalah pemuda ,
cerdas , dan kami tak menuduhmu
( kau tak pernah berbuat jahat ), kau
telah mencatat wahyu , dan sekarang
ikutilah dan kumpulkanlah Alqur ’ an
dan tulislah Alqur ’an ..!” berkata Zeyd :
“ Demi Allah sungguh bagiku
diperintah memindahkan sebuah
gunung daripada gunung- gunung
tidak seberat perintahmu padaku
untuk mengumpulkan Alqur ’an ,
bagaimana kalian berdua berbuat
sesuatu yg tak diperbuat oleh
Rasulullah saw??” , maka Abubakar ra
mengatakannya bahwa hal itu adalah
kebaikan , hingga iapun meyakinkanku
sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan mereka berdua
dan aku mulai mengumpulkan
Alqur ’an ”. (Shahih Bukhari hadits
no .4402 dan 6768 ).
Nah saudaraku , bila kita perhatikan
konteks diatas Abubakar shiddiq ra
mengakui dengan ucapannya :
“ sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku
sependapat dengan Umar” , hatinya
jernih menerima hal yg baru ( bid’ ah
hasanah ) yaitu mengumpulkan
Alqur ’an , karena sebelumnya alqur’ an
belum dikumpulkan menjadi satu
buku , tapi terpisah- pisah di hafalan
sahabat , ada yg tertulis di kulit onta, di
tembok, dihafal dll , ini adalah Bid’ ah
hasanah , justru mereka berdualah yg
memulainya .
Kita perhatikan hadits yg dijadikan
dalil menafikan (menghilangkan )
Bid ’ah hasanah mengenai semua
bid ’ah adalah kesesatan, diriwayatkan
bahwa Rasul saw selepas melakukan
shalat subuh beliau saw menghadap
kami dan menyampaikan ceramah yg
membuat hati berguncang, dan
membuat airmata mengalir . ., maka
kami berkata : “ Wahai Rasulullah. .
seakan -akan ini adalah wasiat untuk
perpisahan… , maka beri wasiatlah
kami ..” maka rasul saw bersabda :
“ Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa
kepada Allah , mendengarkan dan
taatlah walaupun kalian dipimpin oleh
seorang Budak afrika , sungguh
diantara kalian yg berumur panjang
akan melihat sangat banyak ikhtilaf
perbedaan pendapat , maka
berpegang teguhlah pada sunnahku
dan sunnah khulafa ’urrasyidin yg
mereka itu pembawa petunjuk ,
gigitlah kuat kuat dengan geraham
kalian (suatu kiasan untuk
kesungguhan ), dan hati-hatilah
dengan hal -hal yg baru , sungguh
semua yg Bid 'ah itu adalah
kesesatan ”. (Mustadrak Alasshahihain
hadits no. 329 ).
Jelaslah bahwa Rasul saw
menjelaskan pada kita untuk
mengikuti sunnah beliau dan sunnah
khulafa ’urrasyidin , dan sunnah beliau
saw telah memperbolehkan hal yg
baru selama itu baik dan tak
melanggar syariah, dan sunnah
khulafa ’urrasyidin adalah anda lihat
sendiri bagaimana Abubakar shiddiq
ra dan Umar bin Khattab ra
menyetujui bahkan menganjurkan ,
bahkan memerintahkan hal yg baru ,
yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu
pembukuan Alqur ’an , lalu pula selesai
penulisannya dimasa Khalifah Utsman
bin Affan ra, dengan persetujuan dan
kehadiran Ali bin Abi Thalib kw .
Nah. . sempurnalah sudah keempat
makhluk termulia di ummat ini ,
khulafa ’urrasyidin melakukan bid’ ah
hasanah , Abubakar shiddiq ra dimasa
kekhalifahannya memerintahkan
pengumpulan Alqur ’an , lalu
kemudian Umar bin Khattab ra pula
dimasa kekhalifahannya
memerintahkan tarawih berjamaah
dan seraya berkata : “Inilah sebaik -
baik Bid ’ah !”(Shahih Bukhari hadits
no .1906 ) lalu pula selesai penulisan
Alqur ’an dimasa Khalifah Utsman bin
Affan ra hingga Alqur ’an kini dikenal
dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan
Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan
menyetujui hal itu. Demikian pula hal
yg dibuat -buat tanpa perintah Rasul
saw adalah dua kali adzan di Shalat
Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa
Rasul saw, tidak dimasa Khalifah
Abubakar shiddiq ra, tidak pula
dimasa Umar bin khattab ra dan baru
dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra,
dan diteruskan hingga kini (Shahih
Bulkhari hadits no.873 ) .
Siapakah yg salah dan tertuduh ? ,
siapakah yg lebih mengerti larangan
Bid ’ah ?, adakah pendapat
mengatakan bahwa keempat
Khulafa’ urrasyidin ini tak faham
makna Bid ’ah ?
III . Bid ’ ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yg
menolak bid ’ah hasanah inilah yg
termasuk pada golongan Bid’ ah
dhalalah , dan Bid ’ah dhalalah ini
banyak jenisnya , seperti penafikan
sunnah, penolakan ucapan sahabat ,
penolakan pendapat
Khulafa’ urrasyidin, nah… diantaranya
adalah penolakan atas hal baru
selama itu baik dan tak melanggar
syariah , karena hal ini sudah
diperbolehkan oleh Rasul saw dan
dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan
Rasul saw telah jelas- jelas
memberitahukan bahwa akan muncul
banyak ikhtilaf , berpeganglah pada
Sunnahku dan Sunnah
Khulafa’ urrasyidin, bagaimana Sunnah
Rasul saw?, beliau saw membolehkan
Bid ’ah hasanah , bagaimana sunnah
Khulafa’ urrasyidin? , mereka
melakukan Bid ’ah hasanah , maka
penolakan atas hal inilah yg
merupakan Bid ’ah dhalalah , hal yg
telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan )
adanya Bid ’ah hasanah , maka kita
telah menafikan dan membid ’ahkan
Kitab Al- Quran dan Kitab Hadits yang
menjadi panduan ajaran pokok
Agama Islam karena kedua kitab
tersebut ( Al-Quran dan Hadits) tidak
ada perintah Rasulullah saw untuk
membukukannya dalam satu kitab
masing - masing , melainkan hal itu
merupakan ijma/kesepakatan
pendapat para Sahabat
Radhiyallahu ’anhum dan hal ini
dilakukan setelah Rasulullah saw
wafat .
Buku hadits seperti Shahih Bukhari,
shahih Muslim dll inipun tak pernah
ada perintah Rasul saw untuk
membukukannya , tak pula
Khulafa’ urrasyidin memerintahkan
menulisnya, namun para tabi’ in mulai
menulis hadits Rasul saw. Begitu pula
Ilmu Musthalahulhadits , Nahwu ,
sharaf , dan lain -lain sehingga kita
dapat memahami kedudukan derajat
hadits , ini semua adalah perbuatan
Bid ’ah namun Bid ’ah Hasanah .
Demikian pula ucapan
“ Radhiyallahu ’anhu ” atas sahabat ,
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
saw, tidak pula oleh sahabat ,
walaupun itu di sebut dalam Al- Quran
bahwa mereka para sahabat itu
diridhoi Allah , namun tak ada dalam
Ayat atau hadits Rasul saw
memerintahkan untuk mengucapkan
ucapan itu untuk sahabatnya, namun
karena kecintaan para Tabi’in pada
Sahabat , maka mereka
menambahinya dengan ucapan
tersebut . Dan ini merupakan Bid’ ah
Hasanah dengan dalil Hadits di atas,
Lalu muncul pula kini Al-Quran yang
di kasetkan , di CD kan , Program Al-
Quran di handphone, Al-Quran yang
diterjemahkan , ini semua adalah
Bid ’ah hasanah . Bid ’ah yang baik yang
berfaedah dan untuk tujuan
kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya Bid ’ah hasanah di
atas maka semakin mudah bagi kita
untuk mempelajari Al-Quran , untuk
selalu membaca Al-Quran , bahkan
untuk menghafal Al- Quran dan tidak
ada yang memungkirinya .
Sekarang kalau kita menarik mundur
kebelakang sejarah Islam , bila Al-
Quran tidak dibukukan oleh para
Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi
pada perkembangan sejarah Islam ?
Al- Quran masih bertebaran di
tembok- tembok, di kulit onta, hafalan
para Sahabat ra yang hanya sebagian
dituliskan, maka akan muncul beribu -
ribu Versi Al- Quran di zaman
sekarang , karena semua orang akan
mengumpulkan dan
membukukannya , yang masing -
masing dengan riwayatnya sendiri ,
maka hancurlah Al- Quran dan
hancurlah Islam . Namun dengan
adanya Bid’ ah Hasanah , sekarang kita
masih mengenal Al- Quran secara
utuh dan dengan adanya Bid’ ah
Hasanah ini pula kita masih mengenal
Hadits -hadits Rasulullah saw , maka
jadilah Islam ini kokoh dan Abadi,
jelaslah sudah sabda Rasul saw yg
telah membolehkannya , beliau saw
telah mengetahui dengan jelas bahwa
hal hal baru yg berupa kebaikan
( Bid’ ah hasanah) , mesti dimunculkan
kelak , dan beliau saw telah melarang
hal -hal baru yg berupa keburukan
( Bid’ ah dhalalah ).
Saudara -saudaraku , jernihkan hatimu
menerima ini semua , ingatlah ucapan
Amirulmukminin pertama ini ,
ketahuilah ucapan ucapannya adalah
Mutiara Alqur ’an , sosok agung
Abubakar Ashiddiq ra berkata
mengenai Bid ’ah hasanah : “sampai
Allah menjernihkan dadaku dan aku
setuju dan kini aku sependapat
dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah
ra :” ..bagaimana kalian berdua
( Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu
yg tak diperbuat oleh Rasulullah
saw??, maka Abubakar ra
mengatakannya bahwa hal itu adalah
kebaikan , hingga iapun( Abubakar ra)
meyakinkanku (Zeyd ) sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju
dan kini aku sependapat dengan
mereka berdua ”.
Maka kuhimbau saudara-saudaraku
muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih
menerima hal -hal baru yg baik adalah
hati yg sehati dengan Abubakar
shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra,
hati Zeyd bin haritsah ra, hati para
sahabat , yaitu hati yg dijernihkan Allah
swt , Dan curigalah pada dirimu bila
kau temukan dirimu mengingkari hal
ini , maka barangkali hatimu belum
dijernihkan Allah , karena tak mau
sependapat dengan mereka, belum
setuju dengan pendapat mereka,
masih menolak bid ’ah hasanah , dan
Rasul saw sudah mengingatkanmu
bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf ,
dan peganglah perbuatanku dan
perbuatan khulafa ’ urrasyidin, gigit
dengan geraham yg maksudnya
berpeganglah erat-erat pada
tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan
sanubari kalian hingga sehati dan
sependapat dengan Abubakar
Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra,
Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib
kw dan seluruh sahabat.. amiin.
IV. Pendapat para Imam dan
Muhadditsin mengenai Bid ’ah
1 . Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam
Muhammad bin Idris Assyafii
rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ ah
terbagi dua, yaitu bid’ ah mahmudah
( terpuji) dan bid ’ah madzmumah
( tercela) , maka yg sejalan dengan
sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak
selaras dengan sunnah adalah tercela ,
beliau berdalil dengan ucapan Umar
bin Khattab ra mengenai shalat
tarawih : “inilah sebaik baik bid ’ah” .
( Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86 -87)
2 . Al Imam Al Hafidh Muhammad bin
Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“ Menanggapi ucapan ini (ucapan
Imam Syafii ), maka kukatakan ( Imam
Qurtubi berkata) bahwa makna hadits
Nabi saw yg berbunyi : “seburuk -
buruk permasalahan adalah hal yg
baru , dan semua Bid’ ah adalah
dhalalah ” ( wa syarrul umuuri
muhdatsaatuha wa kullu bid ’atin
dhalaalah ), yg dimaksud adalah hal -
hal yg tidak sejalan dengan Alqur ’ an
dan Sunnah Rasul saw, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu
‘anhum , sungguh telah diperjelas
mengenai hal ini oleh hadits lainnya :
“ Barangsiapa membuat buat hal baru
yg baik dalam islam , maka baginya
pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya , dan
barangsiapa membuat buat hal baru
yg buruk dalam islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yg
mengikutinya” ( Shahih Muslim hadits
no .1017 ) dan hadits ini merupakan
inti penjelasan mengenai bid’ ah yg
baik dan bid ’ah yg sesat ”. (Tafsir
Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3 . Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
Annawawiy rahimahullah ( Imam
Nawawi)
“ Penjelasan mengenai hadits :
“ Barangsiapa membuat-buat hal baru
yg baik dalam islam , maka baginya
pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya , dan
barangsiapa membuat buat hal baru
yg dosanya ”, hadits ini merupakan
anjuran untuk membuat kebiasaan
kebiasaan yg baik , dan ancaman untuk
membuat kebiasaan yg buruk, dan
pada hadits ini terdapat pengecualian
dari sabda beliau saw : “semua yg
baru adalah Bid ’ah, dan semua yg
Bid ’ah adalah sesat ” , sungguh yg
dimaksudkan adalah hal baru yg
buruk dan Bid ’ah yg tercela” . (Syarh
Annawawi ‘ ala Shahih Muslim juz 7
hal 104 - 105 )
Dan berkata pula Imam Nawawi
bahwa Ulama membagi bid’ ah
menjadi 5, yaitu Bid ’ah yg wajib ,
Bid ’ah yg mandub, bid ’ah yg mubah ,
bid ’ah yg makruh dan bid ’ah yg
haram . Bid ’ah yg wajib contohnya
adalah mencantumkan dalil- dalil pada
ucapan ucapan yg menentang
kemungkaran , contoh bid ’ah yg
mandub ( mendapat pahala bila
dilakukan dan tak mendapat dosa bila
ditinggalkan ) adalah membuat buku
buku ilmu syariah , membangun
majelis taklim dan pesantren , dan
Bid ;ah yg Mubah adalah bermacam -
macam dari jenis makanan, dan
Bid ’ah makruh dan haram sudah jelas
diketahui , demikianlah makna
pengecualian dan kekhususan dari
makna yg umum , sebagaimana
ucapan Umar ra atas jamaah tarawih
bahwa inilah sebaik 2 bid ’ah” . (Syarh
Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz
6 hal 154 - 155 )
4 . Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam
Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy
rahimahullah
Mengenai hadits “Bid ’ah Dhalalah ” ini
bermakna “ Aammun makhsush” ,
( sesuatu yg umum yg ada
pengecualiannya) , seperti firman
Allah : “… yg Menghancurkan segala
sesuatu” ( QS Al Ahqaf 25) dan
kenyataannya tidak segalanya hancur ,
(*atau pula ayat : “ Sungguh telah
kupastikan ketentuanku untuk
memenuhi jahannam dengan jin dan
manusia keseluruhannya” QS
Assajdah - 13), dan pada kenyataannya
bukan semua manusia masuk neraka ,
tapi ayat itu bukan bermakna
keseluruhan tapi bermakna seluruh
musyrikin dan orang dhalim. pen) atau
hadits : “ aku dan hari kiamat bagaikan
kedua jari ini ” (dan kenyataannya
kiamat masih ribuan tahun setelah
wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy
Juz 3 hal 189 ) .
Maka bila muncul pemahaman di
akhir zaman yg bertentangan dengan
pemahaman para Muhaddits maka
mestilah kita berhati - hati darimanakah
ilmu mereka? , berdasarkan apa
pemahaman mereka? , atau seorang
yg disebut imam padahal ia tak
mencapai derajat hafidh atau
muhaddits ? , atau hanya ucapan
orang yg tak punya sanad , hanya
menukil -menukil hadits dan
mentakwilkan semaunya tanpa
memperdulikan fatwa - fatwa para
Imam?

Hukum Menyanyi & Musik

Menyanyi dan Muzik

Di antara hiburan yang dapat menghibur jiwa dan menenangkan hati serta mengenakkan telinga, ialah nyanyian. Hal ini dibolehkan oleh Islam, selama tidak dicampuri omong kotor, cabul dan yang kiranya dapat mengarah kepada perbuatan dosa. Dan tidak salah pula kalau disertainya dengan muzik yang tidak membangkitkan nafsu. Bahkan disunatkan dalam situasi gembira, guna melahirkan perasaan riang dan menghibur hati, seperti pada hari raya, perkawinan, kedatangan orang yang sudah lama tidak datang, saat walimah, aqiqah dan di waktu lahirnya seorang bayi.

Dalam hadis diterangkan: "Dari Aisyah r.a, bahawa ketika dia menghantar pengantin perempuan ke tempat laki-laki Ansar, maka Nabi bertanya: Hai Aisyah! Apakah mereka ini disertai dengan suatu hiburan? Sebab orang-orang Ansar gemar sekali terhadap hiburan." (Riwayat Bukhari)

Dan diriwayatkan pula: "Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Aisyah pernah mengahwinkan salah seorang kerabatnya dengan Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w. datang dan bertanya: Apakah akan kamu hadiahkan seorang gadis itu? Mereka menjawab: Betul! Rasulullah s.a.w. bertanya lagi. Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab: Tidak! Kemudian Rasulllah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar adalah suatu kaum yang merayu. Oleh kerana itu alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamul" (Riwayat Ibnu Majah)

"Dan dari Aisyah r.a. sesungguhnya Abubakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w. menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka diusirlah dua gadis itu oleh Abubakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata kepada Abubakar Biarkanlah mereka itu hai Abubakar, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang)." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Imam Ghazali dalam Ihya'nya [27] setelah membawakan beberapa hadis tentang bernyanyinya dua orang gadis itu, permainannya orang-orang Habasyah di dalam masjid Nabawi yang didukungnya oleh Nabi dengan kata-katanya: kerana kamu, aku melihat hai Bani Arfidah, dan perkataan Nabi kepada Aisyah: engkau senang ya Aisyah melihat permainan ini; dan berdirinya Nabi bersama Aisyah sehingga dia sendiri yang bosan serta permainan Aisyah dengan boneka bersama kawan-kawannya itu, kemudian Ghazali berkata: bahawa hadis-hadis ini semua tersebut dalam Bukhari dan Muslim dan merupakan nas yang tegas, bahawa nyanyian dan permainan, bukanlah haram. Dan dari situ juga menunjukkan dibolehkannya bermacam-macam permainan:

1. Bermain anggar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Habasyah.
2. Permainan boleh dilakukan di masjid.
3. Sabda Nabi kepada orang-orang Habasyah: keranamu aku melihat hai Bani Arfidah, adalah suatu perintah dan anjuran untuk bermain. Oleh kerana itu bagaimana mungkin permainan itu diharamkannya?
4. Dilarangnya Abubakar dan Umar dengan alasan, bahawa hari itu adalah hari raya dan hari gembira, sedang bernyanyi adalah salah satu daripada jalan untuk bergembira.
5. Berdirinya Nabi yang begitu lama sambil menyaksikan dan mendengarkan nyanyian yang disetujui Aisyah, adalah cukup sebagai bukti, bahawa metode yang baik untuk menghaluskan budi perempuan dan anak-anak dengan cara menyaksikan permainan adalah lebih baik daripada kekasaran ruhud dan berkekurangan dalam suasana terhalang dan dihalang.
6. Perkataan Nabi kepada Aisyah yang didahului dengan kalimat bertanya: senangkah kamu untuk melihat?
7. Perkenan untuk menyanyi dan memukul rebana dari dua anak gadis itu dan seterusnya, seperti yang dituturkan al-Ghazali dalam Kitabus Sama' (fasal mendengar). Dan dari beberapa sahabat dan tabi'in diriwayatkan, bahawa mereka itu pernah mendengarkan nyanyian, sedang mereka tidak menganggapnya suatu perbuatan dosa.


Adapun hadis-hadis Nabi yang melarang nyanyian, semuanya ada cacat, tidak ada satupun yang selamat dari celaan oleh kalangan ahli hadis, seperti kata al-Qadhi Abubakar bin al-Arabi: "Tidak ada satupun hadis yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya nyanyian."

Dan berkata pula Ibnu Hazm: "Semua hadis yang menerangkan tentang haramnya nyanyian adalah batil dan palsu."

Banyak sekali nyanyian-nyanyian dan muzik yang disertai dengan perbuatan berlebih-lebihan, minum-minum arak dan perbuatan-perbuatan haram. Itulah yang kemudian oleh ulama-ulama dianggapnya haram atau makruh.

Sebahagian mereka ada yang ;nengatakan: bahawa sesungguhnya nyanyian itu termasuk lahwul hadis (omongan yang dapat melalaikan) sebagai yang dimaksud dalam firman Allah:

“Di antara manusia ada yang membeli omongan yang dapat melalaikan untuk menyesatkan (orang) dari jalan Allah tanpa disedari, dan dijadikannya sebaqai permainan. Mereka itu kelak akan mendapat siksaan yang hina.” (Luqman: 6)

Ibnu Hazm berkata: "Ayat tersebut menyebutkan suatu sifat yang barangsiapa mengerjakannya boleh menjadi kafir tanpa diperselisihkan lagi, iaitu apabila dia menjadikan agama Allah sebagai permainan. Oleh kerana itu jika dia membeli sebuah al-Quran untuk dijadikan ayat guna menyesatkan orang ramai dan dijadikannya sebagai permainan, maka jelas dia adalah kafir. Inilah yang dicela Allah s.w.t. Samasekali Allah tidak mencela orang-orang yang membeli lahwal hadis itu sendiri yang boleh dipakai untuk hiburan dan menggembirakan hati, bukan untuk menyesatkan orang dari jalan Allah."

Selanjutnya Ibnu Hazm menolak anggapan orang yang mengatakan; bahawa nyanyian itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, dan termasuk suatu kesesatan, seperti firman Allah.

“Tidak ada lain sesudah hak kecuali kesesatan.” (Yunus: 32)

Maka kata Ibnu Hazm: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Sesungguhnya semua perbuatan itu harus disertai dengan niat dan tiap-tiap orang akan dinilai menurut niatnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Jadi barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat untuk membantu bermaksiat kepada Allah, maka jelas dia adalah fasik --termasuk semua hal selain nyanyian. Dan barangsiapa berniat untuk menghibur hati supaya dengan demikian dia mampu berbakti kepada Allah dan tangkas dalam berbuat kebajikan, maka dia adalah orang yang taat dan berbuat baik dan perbuatannya pun termasuk perbuatan yang benar. Dan barangsiapa tidak berniat untuk taat kepada Allah dan tidak juga untuk bermaksiat, maka perbuatannya itu dianggap main-main saja yang dibolehkan, seperti halnya seorang pergi ke kebun untuk berlibur, dan seperti orang yang duduk-duduk di depan sofa sekadar melihat-lihat, dan seperti orang yang mengkelir bajunya dengan warna ungu, hijau dan sebagainya.

Namun di situ ada beberapa ikatan yang harus kita perhatikan sehubungan dengan masalah nyanyian ini, iaitu:

1. Nyanyian itu harus diperuntukkan buat sesuatu yang tidak bertentangan dengan etika dan ajaran Islam. Oleh kerana itu kalau nyanyian-nyanyian tersebut penuh dengan pujian-pujian terhadap arak dan menganjurkan orang supaya minum arak, misalnya, maka menyanyikan lagu tersebut hukumnya haram, dan si pendengarnya pun haram juga. Begitulah nyanyian-nyanyian lain yang dapat dipersamakan dengan itu.

2. Mungkin subyek nyanyian itu sendiri tidak menghilangkan pengarahan Islam, tetapi cara menyanyikan yang dilakukan oleh si penyanyi itu beralih dari lingkungan halal kepada I;ngkungan haram, misalnya lenggang gaya dengan suatu kesengajaan yang dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah dan perbuatan cabul.

3. Sebagaimana agama akan selalu memberantas sikap berlebih-lebihan dan kesombongan dalam segala hal sampai pun dalam beribadah, maka begitu juga halnya berlebih-lebihan dalam hiburan dan menghabiskan waktu untuk berhibur, padahal waktu itu sendiri adalah berarti hidup!

Tidak dapat diragukan lagi, bahawa berlebih-lebihan dalam masalah yang mubah dapat menghabiskan waktu untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban. Maka tepatlah kata ahli hikmah: "Tidak pernah saya melihat suatu perbuatan yang berlebih-lebihan, melainkan di balik itu ada suatu kewajiban yang terbuang."

4. Tinggal ada beberapa hal yang seharusnya setiap pendengarnya itu sendiri yang memberitahu kepada dirinya sendiri, iaitu apabila nyanyian atau satu macam nyanyian itu dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah serta nafsu kebinatangannya itu dapat mengalahkan segi rohaniahnya, maka dia harus menjauhi nyanyian tersebut dan dia harus menutup pintu yang dari situlah angin fitnah akan menghembus, demi melindungi hatinya, agamanya dan budi luhurnya. Sehingga dengan demikian dia dapat tenang dan gembira.

5. Di antara yang sudah disepakati, bahawa nyanyian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan haram lainnya seperti: di persidangan arak, dicampur dengan perbuatan cabul dan maksiat, maka di sinilah yang oleh Rasulullah s.a.w. pelakunya, dan pendengarnya diancam dengan siksaan yang sangat, iaitu sebagaimana sabda beliau:

"Sungguh akan ada beberapa orang dari ummatku yang minum arak, mereka namakan dengan nama lain, kepala mereka itu boleh dilalaikan dengan bunyi-bunyian dan nyanyian-nyanyian, maka Allah akan tenggelamkan mereka itu kedalam bumi dan akan menjadikan mereka itu seperti kera dan babi." (Riwayat Ibnu Majah)

Bukan merupakan kelaziman kalau mereka itu dirombak bentuk dan potongannya, tetapi apa yang dimaksud dirombak jiwanya dan rohnya. Bentuknya bentuk manusia tetapi jiwanya, jiwa kera dan rohnya roh babi.

Total Pengunjung

Powered by Blogger.

Pencarian